Jakarta (ANTARA News) - Mungkin tidak adil jika menyampurkan si baik, si buruk dan si bodoh pada wajah media Amerika Serikat mengenai peliputan mereka yang mengecewakan dan sangat berat sebelah --termasuk dalam editorial dan publikasi opini-- mengenai pembantaian warga Palestina yang tak berdaya oleh Israel di Jalur Gaza yang padat penduduk itu.

Rangkaian kata itu adalah awal tulisan dari kolumnis terkemuka Timur Tengah, George S. Hishmeh, yang kerap menulis untuk Jordan Times, Gulf News dan Daily Star, Mesir, yang dimuat di Middle East Times, harian berbasis web yang dipublikasikan di Washington DC, AS.

Sejauh ini, 5.000 orang terluka dan 1.000 orang lebih terbunuh, termasuk ratusan wanita dan anak-anak akibat invasi keterlaluan militer Israel yang dimulai sejak 27 Desember 2008.

Awalnya, sejumlah tertentu suara di AS dengan penuh nafsu menolak pandangan-pandangan bias dan liputan-liputan ala kadarnya mengenai Perang di Gaza.

Diantara yang menyuarakan itu adalah program acara Democracy Now dari National Public Radio yang diasuh penyiar kritis Amy Goodman dan Juan Gonzales yang diudarakan 750 stasiun radio dan televisi di seluruh Amerika Serikat.

Sejumlah kelompok Yahudi Amerika seperti Israel Policy Forum dan Americans for Peace Now juga seringkali menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil Israel.

Seraya menyebut invasi Israel ke Gaza sah, Walikota New York yang pro-Israel, Michael Bloomberg, menyemburkan kalimat tendensius terhadap Jon Stewart, komedian berdarah Yahudi yang populer di AS, dalam acara Comedy Central.

"Jika anda berada di apartemen anda dan seseorang yang emosinya terganggu memukul-mukul pintu apartemen anda, lalu berteriak, 'Saya mau lewat pintu ini dan membunuhmu!' apakah anda ingin kami menanggapinya dengan memanggil seorang perwira polisi atau memanggil semua pasukan yang ada?"

Stewart menjawab sambil cenderung mengejek, "Saya pikir itu tergantung pada apakah kita telah menindas orang itu dan kita menyilakannya lewat setiap kali dia mengeluarkan umpatan!"

Para penggemar komedian populer AS ini lalu membuat laman sebagai tanda terimakasih mereka atas kritik tak mengenal henti dari Stewart terhadap blokade terus-terusan Israel di Jalur Gaza (http://www.thankyoujonstewart.com).

Bodoh

Begitu juga dengan Zbigniew Brzezinski, penasehat keamanan semasa pemerintahan Jimmy Carter.

Zbigniew berkata pada salah seorang pengasuh acara televisi lainnya, Joe Scarborough yang mantan anggota Kongres dari Partai Republik dan pembawa acara bincang-bincang televisi, "Tahu tidak, anda punya pengetahuan sangat dangkal mengenai apa yang telah terjadi (di Gaza) sehingga komentar-komentar anda nyaris memalukan."

Sayang sekali, pernyataan dan isyarat-isyarat simpatik untuk Palestina dari beberapa kalangan di AS seperti itu jumlahnya kecil sekali dibandingkan dukungan tanpa henti media massa AS terhadap invasi Israel.

Media massa AS memulai langkah dengan hampir seluruhnya mendukung kebijakan yang diambil pemerintahan George W. Bush yang menyetujui reaksi berlebihan Israel dalam membombardir Hamas dan mengatakannya sebagai bentuk pertahanan diri.

Media massa AS bahkan enggan berempati pada distribusi bantuan medis kepada para relawan bantuan kemanusiaan di Palestina dan berat sekali untuk memprotes larangan Israel terhadap para jurnalis yang ingin meliput wilayah-wilayah yang disebut para pejabat PBB sebagai lokasi kejahatan perang Israel.

"Bodoh sekali jika harus menyalahkan Israel," kata Richard Cohen, kolumnis Washington Post pada 6 Januari.

Dengan dingin, Cohen melanjutkan, "Seperti dipahami para pemimpin Hamas, perang di Gaza adalah perang tanpa akhir Israel untuk menjadi sebuah negara normal" merujuk pendudukan tanah Palestina dan bombardemen Israel ke desa-desa Arab dua tahun lalu di Qana, Lebanon, dimana PBB mendirikan pos untuk pasukan penjaga perdamaian di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel.

Saat itu, Human Right Watch melaporkan, 28 penduduk tewas dan 13 lainnya hilang di satu kota di Lebanon selatan dimana Jesus dipercaya untuk pertamakalinya membuktikan mukjizatnya di hadapan umatnya.

Cohen meratapi perpisahannya dengan Israel, juga 750 ribu warga Israel, untuk tinggal di Amerika Serikat, karena berbagai macam alasan dan kerap mesti melewati suasana penuh derita.

Namun Cohen diam seribu bahasa ketika jutaan warga Palestina terusir dari tanah airnya menyusul berdirinya Israel pada 1948.

Sulit

Ada sejumlah pernyataan dan laporan sangat berapi-api layak kutip dari Editor and Publisher, sebuah jurnal yang sangat dihormati semua jurnalis Amerika.

Dibawah headline "Media Massa Diam Saat Israel Menginvasi - NYT (New York Times) Keliru Menyusun Editorial," Greg Mitchell, editor jurnal itu, menilai selama lebih dari seminggu setelah perang diletupkan, media massa AS menyajikan liputan berat sebelah mengenai konflik (Gaza) dengan sedikit sekali menyajikan editorial dan komentar yang menentang aksi Israel di Gaza.

Greg melanjutkan, terutama sekali setelah lebih dari enam hari pemboman Israel dan luncuran roket Hamas ke Gaza, New York Times, hanya menurunkan satu editorial, dengan tak satupun menyajikan komentar dari para kolumnisnya, dan hanya menampilkan dua komentar berlawanan dengan editorial (op-eds).

Namun, Washington Post berani menyajikan satu editorial di edisi Minggu dengan gaya meliuk-liuk, menyebut invasi Israel itu sah namun mengatakanya sebagai tindakan berisiko tinggi.

Tak terbantahkan lagi sangat sulit menemukan laporan dari media massa AS yang bisa memasukkan perspektif Palestina yang sebaliknya begitu mudah ditemukan di media massa Eropa, terutama Inggris.

Itu menjelaskan mengapa orang Amerika dan para pembuat kebijakan di AS hanya mau mengakrabi salah satu bagian dari konflik itu (Israel).

Salah satunya terjadi minggu lalu saat Senat AS mendukung Israel dalam perangnya yang sia-sia melawan Hamas, sebuah sikap yang sehari kemudian ditentang DPR AS.

Waktu itu, anggota Kongres dari Partai Demokrat, Dennis Kucinich, menyebut Washington telah menghirup darah orang-orang tak berdosa yang dibantai Israel di Gaza, dengan menyalurkan pajak AS, jet-jet dan helikopter-helikopter tempur AS ke Israel sehingga memungkinan terjadinya pembantaian di Gaza.

Anehnya, media massa AS sama sekali enggan membuka mulut, dan secara memalukan memilih diam untuk tidak mengacaukan keadaan yang menguntungkan Israel. (*)


Sumber: Middle East Times (15/1)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009