Jakarta (ANTARA News) - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan bertemu dengan tim seleksi pelaksana tugas pimpinan KPK (Tim 5) pada Jumat (25/9), kata Kepala Biro Hukum KPK, Khaidir Ramly.

"Besok Jumat, Pak Jasin dan pimpinan jam 14.00bertemu dengan tim lima," kata Khaidir di Jakarta, Kamis.

Khaidir tidak menjelaskan secara rinci tempat pertemuan tersebut. Dia juga tidak membeberkan tentang materi yang akan dibicarakan dalam pertemuan tersebut.

Namun, Khaidir mengatakan, tim KPK akan menjelaskan kepada Tim 5, bahwa siapapun yang ditunjuk sebagai pimpinan KPK bisa mengalami kriminalisasi seperti yang dialami oleh Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto.

"Kita akan menjelaskan dulu siapapun yang nantinya duduk di kursi pimpinan tidak menutup kemungkinan bisa dikriminalisasikan, jadi kita akan minta penjelasan dulu," kata Khaidir.

Menurut dia, jika kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dibiarkan, hal serupa juga bisa menimpa sejumlah pejabat struktural KPK yang lain.

Seperti diberitakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu penunjukan tiga pelaksana tugas pimpinan KPK. Presiden merasa perlu menerbitkan Perppu karena menganggap KPK tidak akan berjalan dengan baik jika hanya dipimpin oleh dua orang.

Pimpinan KPK tinggal dua orang, setelah tiga pimpinan KPK yang lain ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.

Untuk menunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK, Presiden telah membentuk tim seleksi. Tim itu terdiri atas Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Widodo AS, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, anggota Dewan Petimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution, mantan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, dan pengacara senior Todung Muya Lubis.

Keputusan presiden itu ditentang oleh sejumlah kalangan, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW).

ICW menganggap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) dan pembentukan tim seleksi pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa menjadi bentuk intervensi terhadap lembaga pemberantas korupsi itu.

"Kami menolak karena materi dan substansinya membahayakan independensi KPK," kata peneliti hukum ICW, Febri Diyansyah.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009