Padang (ANTARA News) - Masa pencarian korban yang diduga tewas telah berlalu, dan kegiatan masyarakat Sumatra Barat (Sumbar) menunjukkan mereka seperti ingin segera "berlari" meninggalkan trauma gempa yang merenggut hingga lebih dari 1.000 nyawa.

Ketika tiga hari gempa berlalu dan tenda pengungsian pun belum seluruhnya didirikan, sebenarnya, denyut kehidupan Ranah Minang telah terasa.

Rahman contohnya, penjual nasi soto di belakang Pasar Raya Kota Padang, sudah mendirikan tenda untuk berjualan, hanya tiga hari setelah gempa 7,9 pada skala richter berlalu.

"Sudah sejak hari ketiga saya dagang, ramai sekali. Karena belum banyak yang jualan makanan," ujar pria berpostur tinggi besar tersebut.

Sieken, wanita beranak dua asli Desa Pulut-pulut, Kecamatan Bayang, Painan, Pesisir Selatan, Sumbar, yang sehari-hari berjualan minuman dan makanan di obyek wisata jembatan akar mengatakan, dia sudah berjualan satu hari setelah gempa.

Walau ia mengaku tidak didatangi pembeli satu pun pada hari itu (Kamis, 1/10), ia tetap berjualan.

Sieken maupun kedua anaknya pun mengaku tidak trauma dengan gempa yang menggoyang lereng bukit tempat mereka tinggal.

Mereka hanya trauma dengan gemuruh longsoran tanah dari bukit yang berada di belakang maupun depan rumahnya beberapa saat setelah gempa.

Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Padang Ramandasyah mengatakan, anak didiknya sudah mulai datang ke sekolah pada hari kelima pascagempa. "Walaupun mereka datang dengan baju seadanya," ujar dia.

Sejak Senin (5/10), ia mengatakan, memang baru 70 hingga 80 persen siswa yang hadir dengan pakaian seadanya. Seminggu kemudian, jumlah siswa yang hadir telah mencapai 95 persen.

Tak dapat "berlari"

Dua minggu bencana itu berlalu, proses rehabilitasi sangat dinanti, bukan sekadar beras, air minum, atau pun mie instan.

Mereka yang ingin segera berdiri dan kemudian "berlari" dari keterpurukan itu mengaku sangat membutuhkan dukungan fasilitas dari pemerintah.

Kepala Sekolah Kartika I-6, Koordinator 5 Den Betang Slog Cabang I Daerah 1/Bukit Barisan Wanti menginginkan proses rehabilitasi bahkan rekonstruksi ruang sekolahnya yang runtuh dapat dipercepat.

Ruang kelas yang menempati gedung tua tersebut sudah dinyatakan Dinas Pendidikan Kota Padang tidak layak digunakan.

"Gedungnya sudah retak-retak, saya saja tidak berani berlama-lama di dalam apalagi kalau datang hujan," ujar Wanti.

Kini anak-anak didiknya yang semua rata-rata berusia lima tahun, yang berjumlah 76 orang, harus belajar di satu tenda.

"Ini tidak cukup pastinya. Tadi saja yang datang baru 52 anak sudah sesak, bagaimana kalau semua datang," katanya.

Ia pun mengatakan membutuhkan bantuan berupa peralatan penunjang untuk anak didiknya belajar.

"Papan tulis, crayon, buku, meja, kursi, keyboard untuk bernyanyi, karena yang lama sudah tertimpa puing-puing kelas," ujar Wanti sambil menunjukkan keyboard rusak berdebu di salah satu pojok ruang kelas.

Untuk kenyamanan anak-anak didiknya di SMA 1 Padang, Ramandasyah pun berharap tenda-tenda darurat tempat siswa kelas 1,2, dan 3 segera diganti dengan kelas-kelas darurat yang dijanjikan pemerintah dapat bertahan dua tahun.

"Coba lihat di sana, di bawah tenda besar berwarna putih sumbangan alumni sekolah ini. Mereka kepanasan walau sudah ditambah kipas angin, kasihan," ujar Ramandasyah sambil menunjuk anak-anak didiknya.

Dodi, warga Kelurahan Berok Nipah, Kota Padang, mengatakan masih tinggal di mushola terdekat dari rumahnya.

"Rumah saya sebagian roboh, sudah tidak dapat didiami. Belum tahu sampai kapan saya tinggal di sana (mushola)," ujar pria muda itu.

Ia belum dapat kembali bekerja. Selain karena ruko tempat bekerjanya runtuh, ia pun masih memutar otak untuk mencari tempat tinggal yang layak untuk dia dan istrinya.

Menanti pemerintah

Memasuki minggu kedua pascagempa, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi mengatakan, kerugian akibat gempa dahsyat tersebut belum diketahui.

Hal itu karena tim verifikasi sedang berada di lapangan untuk mendata kerugian bangunan dan sejumlah fasilitas lainnya yang rusak akibat gempa.

Dari data Satkorlak PB Sumbar, dari 11 kabupaten/kota yang terkena dampak gempa, Kabupaten Tanah Datar merupakan yang paling sedikit mengalami kerusakan. Jumlah rumah yang rusak di sana hanya 24 unit.

Daerah terparah adalah Padang Pariaman yang 60 persen rumah di sana rusak berat. Disusul Kota padang yang 30 persen bangunannya juga rusak berat.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie mengatakan, pemerintah akan menerapkan pola rekonstruksi pascagempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam pembangunan kembali bangunan dan infrastruktur Sumbar.

"Akan pakai sistem Yogyakarta, di mana dana diberikan secara block grant kepada gubernur dan gubernur yang akan menyerahkan kepada kelompok masyarakat untuk mengerjakan pembangunan rumahnya," katanya.

Bila kelompok masyarakat tidak mampu melaksanakan pembangunan kembali secara mandiri, maka rekonstruksi akan melibatkan kontraktor.

Pemerintah, lanjut Aburizal, akan menyediakan bantuan dana untuk pembangunan kembali bangunan dan infrastruktur di wilayah Sumbar sesuai dengan data kerusakan bangunan dan infrastruktur yang sudah diverifikasi.

Hitungan awal kebutuhan dana untuk membangun kembali perumahan penduduk yang rusak akibat gempa sekitar Rp3 triliun, dan untuk pembangunan infrastruktur Rp1 triliun.

Dana bantuan mengalir kepada Pemerintah Provinsi Sumbar, seperti 10 juta ringgit dari Pemerintah Malaysia, 200.000 dolar AS atau Rp2 miliar dari Palang Merah Taiwan, dan 400.000 dolar AS atau Rp4 miliar dari Pemerintah Taiwan, serta bantuan-bantuan dari negara lain baik berupa dana atau pun fasilitas dan infrastruktur.

Kesigapan pemerintah pusat maupun daerah dalam merehabilitasi dan merekonstruksi Sumbar akan diuji. (*)

Oleh Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009