Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha menilai, pencanangan tiga semboyan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang melandasi kerja Kabinet Indonesia Bersatu Kedua, sangat relevan dan krusial diterapkan di sektor minyak dan gas nasional.

"Semboyan yang disampaikan Presiden saat rapat kabinet perdana, sangat relevan dan krusial diterapkan di sektor migas nasional," katanya di Jakarta, Minggu.

Saat sidang perdana Kabinet Indonesia Bersatu Kedua di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (23/10), Presiden mencanangkan tiga semboyan sebagai landasan kerja para menterinya.

Ketiga semboyan itu adalah Perubahan dan Kelanjutan (Change and Continuity), Penguraian Hambatan, Percepatan, dan Peningkatan (Debotlenecking, Acceleration, and Enhancement), dan Bersatu, Bersama Kita Bisa (Unity, Together We Can).

Menurut Satya, makna semboyan tersebut di sektor migas adalah menghormati kontrak yang sudah ditandatangani atau merevisi jika perlu, memotong birokrasi guna memudahkan proses perijinan dalam berinvestasi, dan sinkronisasi antarkementerian/departemen terkait di sektor ESDM.

"Semua itu menjadi tantangan bagi Menteri ESDM yang baru," katanya yang merupakan Deputi Bidang Energi dan Keuangan Fraksi Partai Golkar DPR.

Satya mengatakan, pemerintah perlu lebih meningkatkan produksi migas mengingat ladang yang menyumbang 80 persen produksi nasional, kini telah berusia cukup tua.

Di tambah lagi, lanjutnya, penurunan alami produksi migas sebesar delapan persen per tahun dan defisit minyak mentah dan BBM yang mencapai 400.000 barel per hari.

"Pemerintah perlu lebih banyak membuka sumur baru dan juga penerapan teknologi baru," katanya.

Satya menambahkan, ke depan, Indonesia juga mesti mengembangkan potensi gas dan gas metana batubara (coal bed methane/CBM), yang total cadangannya mencapai 695 triliun kaki kubik, sebagai pengganti minyak bumi.

Pemerintah, lanjutnya, mesti mempercepat produksi gas dari lapangan baru yang memiliki cadangan besar seperti Natuna D Alpha, Masela, Donggi Senoro, Cepu, dan Blok A, serta CBM di Sumatera dan Kalimantan.

"Kalau itu dilakukan, maka Indonesia berpeluang kembali sebagai eksportir utama gas di masa datang," ujarnya.

Pemerintah, menurut dia, harus pula meningkatkan infrastruktur penunjang industri hilir migas mulai kilang pengolahan minyak, terminal gas alam cair (LNG), pipa transmisi gas, hingga transportasi gas.

Di sisi lain, pemerintah mesti segera menemukan dan mengembangkan sumber energi alternatif seperti panas bumi, CBM, bahan bakar nabati, mikrohidro mesti jadi peluang sebagai pengganti migas yang semakin terbatas.

Satya merinci, langkah-langkah guna mencapai kemandirian di sektor migas tersebut antara lain mempertahankan produksi minyak satu juta barel per hari melalui peningkatan produksi 8-13 persen per tahun dengan asumsi penurunan alamiah 8 persen dan juga menemukan sumur minyak baru.

Selanjutnya, meningkatkan produksi gas sebesar lima persen, meningkatkan pemakaian gas buat pasar domestik, meningkatkan produksi panas bumi 35-50 persen dari 1.117 MW menjadi 4.733 MW, dan mengembangkan BBN dan minihidro.

Namun, menurut dia, pencapaian sasaran tersebut mesti dibarengi dengan penguaraian hambatan seperti belum adanya jaminan iklim usaha yang sehat, menghilangkan tumpang tindih aturan pusat dan daerah, menciptakan kontrak bisnis yang mempunyai kepastian hukum, fiskal yang kompetitif, dan insentif.

"Selain juga, perlu adanya terobosan mengkaji model kontrak selain kontrak bagi hasil (PSC) sekaligus mengkaji PSC secara kasus per kasus dan tidak menggeneralisasikannya, memberi perlakuan khusus (lex specialist), dan memberi kepastian bagi perpanjangan kontrak," katanya.

Hal lain adalah perlu segera dibuat sejumlah peraturan seperti energi baru dan terbarukan, harga patokan panas bumi, BBN, dan minihidro, dukungan kebijakan fiskal dan nonfislkal, kejelasan lahan, dan dukungan pembangunan prasarana.

"Bersama kita bisa, dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan maka kita bisa berharap pengembangan migas bakal lebih baik lagi," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009