Banda Aceh, (ANTARA News) - Pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Saifuddin Bantsyasm SH MA menyarankan Qanun Jinayat yang sudah disahkan DPRA sebaiknya dibahas ulang untuk menghindari perdebatan terhadap hukum Islam di tengah-tengah masyarakat.

"Saya menyarankan agar Qanun Jinayat dibahas kembali, sehingga tidak terjadi polemik antara Pemerintah Aceh dengan masyarakat, khususnya ulama," katanya di Banda Aceh, Senin, menanggapi pro kontra qanun tersebut.

Menjelang berakhirnya masa jabatan, DPRA periode 2004-2009 mengesahkan Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Jinayat dan Raqan Hukum Acara Jinayat menjadi qanun pada 14 September 2009. Namun, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sampai saat ini belum menandatanganinya.

Bahkan ia kembali menegaskan sikapnya untuk menolak dan tidak akan pernah menandatangani Qanun Jinayat yang melegalkan hukum rajam (hukuman cambuk hingga mati) yang disahkan DPR Aceh.

"Pemerintah Aceh menolak Qanun Jinayat dari awal, karena tidak sesuai dari draf yang kami ajukan. Tidak tahulah, bagaimana qanun itu nanti. Pemerintah tetap menolak hukuman rajam karena itu bertentangan dengan hukum nasional dan hukum internasional," ujar Irwandi di Jakarta, baru-baru ini.

Pernyataan Irwandi tersebut mendapat tanggapan serius dari ulama Aceh dan menyesalkan sikap gubernur.

Ketua Umum Dewan Dakwah Indonesia (DDI) Aceh, Tgk Hasanuddin Yusuf Adan, menilai Gubernur Irwandi Yusuf keliru mengeluarkan pernyataan terkait qanun itu.

"Kami menyesalkan pernyataan gubernur yang menyebutkan qanun tersebut bertentangan dengan hukum nasional dan internasional. Jika itu benar pernyataan Irwandi maka ia telah keliru," katanya.

Ia menyatakan, dirinya tidak habis pikir, kenapa gubernur tidak mau menandatangani Qanun Jinayah dan hukum acara Jinayah yang telah disahkan legislatif Aceh. Bahkan Irwandi Yusuf menentang dan menyikapi qanun tersebut dengan sikap arogan.

Selanjutnya, Saifuddin menyatakan, untuk meredakan konflik gubernur dengan ulama, maka alangkah bijaksananya kalau qanun itu dibahas ulang, sehingga benar-benar diterima semua pihak.

"UU atau peraturan baru bisa dijalankan kalau antara Pemerintah Aceh dengan DPRA sama-sama menyetujui," ujarnya.

Ia menilai, qanun tersebut sudah ada masalah dari awal, karena memang tidak disetujui oleh Pemerintah Aceh, karena ada pasal-pasal tertentu yang dianggap tidak sesuai.

Kemudian DPRA yang lalu memaksakan diri untuk tetap membahas dan akhirnya mengesahkan menjadi qanun.

Sebenarnya, dibuatnya undang-undang harus memenuhi banyak syarat, diantaranya azas kejelasan, kesesuaian, kedayagunaan.

"Mungkin, menurut Pemerintah Aceh ada pasal-pasal yang tidak memenuhi syarat, sehingga ditolak," katanya.(*)

 

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009