Sydney (ANTARA News) - China diduga telah menekan Australia untuk menolak menerima enam pria Uighur yang dibebaskan dari penjara Teluk Guantanamo dan dikirim ke negara pulau Pasifik Palau, kata Presiden Johnson Toribiong.

Toribiong, yang telah menyambut baik enam Muslim yang mendekam delapan tahun di tahanan di pangkalan militer Amerika Serikat itu, mengatakan kepada stasiun televisi SBS bahwa dia bingung kenapa Australia menolak orang-orang tersebut.

"Ini aneh, karena Australia adalah negara besar," kata presiden Palau dalam wawancara yang ditayangkan di Sydney Ahad dan dikutip AFP.

"Saya duga mereka ditekan oleh China untuk mengambil sikap demikian, namun menurut pendapat saya masalah atau sengketa antara AS dan China berkaitan dengan orang-orang ini adalah antar mereka."

Palau, bekas wilayah kekuasaan AS yang tergantung berat pada bantuan Amerika itu, setuju untuk memberikan tempat tinggal sementara kepada keenam suku Uighur itu, yang dinyatakan bebas dari semua tuduhan empat tahun lalu.

AS menolak untuk mengirim kembali mereka ke China - yang menyatakan marah atas pembebasan mereka, dan menyebut mereka sebagai tersangka teroris - karena takut mereka akan disiksa.

Salah seorang dari enam orang itu, Ahmad Tourson, mengatakan kepada program Dateline SBS, bahwa kelompoknya lebih suku menetap di negara lain, terutama Australia yang menurutnya telah ada masyarakat Uighur di sana.

"Kami tiba di sini, ke Palau karena dekat ke Australia. Sementara kami berada di sini, kami akan mengajukan lagi izin menetap di Australia, kami berharap akan diterima," ujarnya.

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengatakan, pihaknya tak bisa memberikan komentar terhadap masalah khusus ini, namun membenarkan bahwa China telah memberikan penjelasan mengenai masalah itu kepada Canberra.

Keenam warga Uighur itu tiba di Palau dua pekan lalu, sebagai bagian dari upaya Presiden Barack Obama untuk menutup pusat tahanan Teluk Guantanamo yang kontroversial itu.

Bekas para tahanan di antaranya 22 orang Uighur - minoritas Muslim yang berbahasa Turki - tinggal di kamp mandiri di Afghanistan ketika invasi yang dipimpin AS terhadap negara itu sejak Oktober 2001.

Mereka mengatakan telah lari ke Afghanistan untuk menghindari penyiksaan di tanah air mereka di Xinjiang, China barat laut.

Pada pekan lalu Beijing mengatakan, pihaknya telah melakukan hukuman mati terhadap sembilan orang yang terlibat dalam kerusuhan etnik antara suku Uighur dan anggota kelompok etnis Han yang dominan di China, pada Juli lalu di Xinjiang.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009