Narathiwat, Thailand (ANTARA News/AFP) - Polisi Thailand menembak mati enam pejuang, sementara tersangka pegaris keras menewaskan seorang pengemudi bus sekolah dan dua pria lain Melayu di wilayah bergolak Thailand selatan, kata polisi pada Selasa.

Lebih dari 4.000 orang tewas dan ribuan lagi luka di propinsi berpenduduk sebagian besar suku Melayu dan berbatasan dengan Malaysia itu sejak perlawanan meledak hampir enam tahun lalu.

Polisi mengepung rumah di propinsi rusuh Pattani pada Selasa dan menyeru sekelompok pejuang di gedung itu menyerah, tapi mereka menolak dan baku-tembak terjadi, kata pejabat polisi.

Enam pejuang kemudian ditemukan tewas di dalam rumah itu dan dua polisi luka, kata mereka.

Juga di Pattani pada Selasa, kelompok bersenjata menembak seorang Melayu pengemudi bus sekolah dasar berumur 49 tahun sewaktu ia akan menjemput anak-anak di propinsi resah Pattani, membunuhnya di tempat.

Secara terpisah di Pattani, dua orang bersenjata di sepeda motor juga menembak pada Senin ke arah pikep, yang diubah menjadi bus sekolah menengah, melukai empat remaja siswa, kata mereka.

Di propinsi tetangga, Narathiwat, pada Senin, seorang kepala desa ditembak mati dalam penyergapan dan pemilik kedai teh ditembak mati di tokonya, kata polisi.

Ketegangan terpupuk di daerah itu, yang sebelumnya kesultanan mandiri Melayu, sejak dicaplok oleh Siam Thailand pada 1902, tapi berkobar menjadi perlawanan penuh pada Januari 2004.

Pejuang bayang-bayang, yang tidak pernah mengumumkan tujuan mereka, menyasar warga Budha dan Melayu, dengan korban termasuk pekerja perkebunan karet, guru dan anggota pasukan keamanan.

Relawan pertahanan dilatih dan dipersenjatai oleh negara untuk melindungi penduduk dari pejuang.

Guru sering menjadi sasaran di wilayah itu, karena dianggap gerilyawan Melayu sebagai bagian dari usaha pemerintah pusat di Bangkok untuk menerapkan kebudayaan Siam.

Mereka biasa menyerang dengan senapan dan bom, tapi juga menggunakan cara mengerikan, seperti, pengayauan dan penyaliban.

Wilayah tersebut semula adalah wilayah mandiri kesultanan Melayu sampai 1902, ketika dicaplok Thailand, yang sebagian besar rakyatnya bersuku Siam dan memicu berdasawarsa ketegangan.

Wilayah berbatasan dengan Malaysia itu hanya beberapa jam dengan mobil dari beberapa pantai Thailand, yang terkenal di kalangan wisatawan.

Kekerasan meningkat saat suku Melayu berjuang mendapatkan swatantra dari Thailand.

Sebagian besar penduduk Melayu setempat menentang kehadiran puluhribuan polisi, tentara dan pengawal Siam bersenjata milik negara di wilayah kaya karet itu.

Pejuang Melayu berjuang melawan pemerintah pada 1970-an dan 1980-an, namun berhenti dengan pengampunan bagi pejuang.

Tidak satu pun kelompok menyatakan bertanggungjawab atas setiap serangan itu.

Pemerintah Thailand pada tengah Oktober memperpanjang tiga bulan masa keadaan darurat di wilayah bergolak di bagian selatan negara itu.

Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva menyatakan aturan itu akan menetap di propinsi Narathiwat, Pattani, Yala dan beberapa bagian Songkhla.

Peraturan itu, yang harus dibarui tiap tiga bulan, memberi pasukan keamanan kekuasaan mencari dan menyita serta kekebalan luas dari penuntutan.

"Keadaan darurat masih diperlukan di selatan, tapi pelaksanaannya akan lebih terbuka," kata Abhisit kepada wartawan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009