Padang (ANTARA News) - Ketua Pesatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar Basri Basar, Sabtu, menilai citra polisi semakin terpuruk di mata publik setelah memanggil awak redaksi dua media, Kompas dan Seputar Indonesia (Sindo).

"Media itu adalah representasi publik dan perpanjangan tangan publik, dalam melakukan kontrol sosial terhadap kekuasaan," kata Basril.

Dia memandang, polisi mestinya menyikapi dengan cerdas laporan-laporan yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

"Ini menyangkut profesi wartawan. Polisi sejatinya tidak main panggil. Polisi harus menghormati UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers," katanya.

Sesuai amanat UU No 40 Tahun 1999, masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, semestinya menyampaikan hak jawab kepada media atau mengadu ke Dewan Pers, katanya lagi.

"Inilah mekanisme yang berlaku menurut UU No 40 Tahun 1999 yang mesti dihormati semua pihak, termasuk polisi," kata Basril.

Dia mengingatkan polisi tidak menggunakan paradigma lama dalam merespon laporan masyarakat, khususnya yang berhubungan dengan media.

"Sekarang era reformasi. Polisi mesti memberikan ruang kepada pers untuk menjalankan tugas-tugas jurnalistik," kata dia.

Ia mengatakan, ketika ada pengaduan pencemaran nama baik polisi mestinya memanggil sumber-sumbernya, bukan justru media yang dipanggil.

"Dalam kasus rekaman percakapan hasil penyadapan KPK yang diperdengarkan di MK, semestinya bukan wartawan yang dipanggil sebab sumbernya adalah rekaman penyadapan," kata Basril.

Pemanggilan awak redaksi Kompas dan Sindo oleh polisi memicu reaksi tajam dari berbagai kalangan. Pemanggilan polisi itu didasarkan laporan Anggodo tanggal 30 Oktober 2009 tentang dugaan pencemaran nama baik dan fitnah sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo 310 jo 311 KUHP. (*)

Pewarta: Luki Satrio
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009