Jakarta (ANTARA News) - Beberapa hari lagi kita memasuki tahun 2010. Ada satu hal yang agaknya patut menjadi perhatian para pembuat kebijakan, termasuk pebisnis bersama perbankan sebagai pendukung finansial dan transportasi yang mendukung sarana fisik.

Mereka perlu menilai kembali secara rinci kesiapan untuk implementasi program kawasan perdagangan bebas China dengan Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (CAFTA).

Akhir tahun 2006 pertemuan para petinggi perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan China diselenggarakan di kota Nanning, Propinsi Guan Xi, China. Salah satu agendanya adalah memantapkan visi bersama dalam rangka Pasar Bebas Kawasan China-ASEAN (China-ASEAN Free Trade Area/CAFTA).

Delegasi Indonesia dalam pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang didampingi Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan RI yang selama ini dikenal akrab dengan dunia bisnis China maupun Asia Timur.

Lantas, bagi pebisnis Indonesia, elit poliik dan pengamat Indonesia tentu saja ada pertanyaan, yakni apa kelanjutannya dari pertemuan CAFTA itu?

Gagasan pembentukan CAFTA untuk pertama kalinya disepakati dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-7 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, pada November 2001. Ketika itu ASEAN menyetujui pembentukan CAFTA dalam waktu 10 tahun, yang dirumuskan dalam ASEAN-China Framework Agreement on Economic Cooperation yang disahkan pada KTT ASEAN berikutnya di Phnom Penh, Kamboja, pada November 2002.

Sejak itu berbagai ulasan bermunculan. Salah satunya dari Sheng Lijun, peneliti dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) di Singapura pada tahun 2003. Lijun menulis laporan studi “China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Development and strategic Motivations”. Sheng Lijun menguraikan gagasan China mengenai CAFTA yang dapat ditelusuri kebelakang tahun 1995, ketika justru China untuk pertama kalinya mengusulkan suatu zona ekonomi khusus, yang berupa satu kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA) dengan propinsi selatan China.

Sebagai kelanjutannya sejak awal 1997 dimulailah berbagai diskusi ilmiah di antara para akademisi yang mengupas berbagai moda zone ekonomi khusus di sepanjang Sungai Yangtze dan Sungai Mutiara (Pearl River) yang melibatkan kalangan akademisi dari Jepang, Korea Selatan, Korea Utara (kawasan ekonomi Sungai Tumen), Rusia, ASEAN, Taiwan, dan Hongkong.

Konsep kawasan ekonomi khusus demikian itu berbeda dengan zona ekonomi yang sebelumnya digagas China awal dasawarsa 1980an, ketika China mengawali reformasi ekonominya.

Tahun 2000 para pimpinan China didukung berbagai ilmuwan dari berbagai pusat penelitian China memprakarsai diskusi yang lebih fokus, yakni mengusulkan dibentuknya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Area). Perdana Menteri China,Zhu Rongji, yang menyampaikan usulan itu pada ASEAN Plus Three Summit di Singapura pada November 2000.

Walaupun dalam hitungan waktu memasuki tahun ke enam pada saat ini agaknya ada serangkaian kekuatan tersebut mulai dapat membuat cemas dan takut menyaksikan bila menyaksikan bergeraknya keseimbangan kekuatan (balance of power) kearah Kerajaan Tengah (Middle Kingdom).

Bayangkan saja, saat gagasan CAFTA muncul yang disepakati bersama China dengan ASEAN untuk diawali implementasinya tahun 2010 saat akan terjadi integrasi perekonomian yang meliputi sebanyak 1,8 miliar konsumen (1,29 miliar dari China dan 550 juta dari ASEAN) dan belum lagi kalau disertakan Jepang (berpenduduk 127 juta) dan Korea Selatan (berpenduduk 48 juta). Hal ini tercatat dalam “2004 Economic Outlook for East Asia”, Institute of Developing Economies/JETRO, Japan.

ASEAN dan China menyetujui dibentuknya CAFTA dalam dua tahapan waktu, yakni 1) tahun 2010 dengan negara pendiri ASEAN, meliputi Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia dan Filipina; 2) tahun 2012 ada lima negara lain di ASEAN meliputi Brunei Darusalam, Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.

Indonesia menganggap CAFTA sebagai bagian dari regionalisme China. Oleh karena luas wilayah dan kemampuannya, China juga bermaksud membentuk satu kawasan perdagangan bebas dengan Jepang dan Korea.

Sejak awal 2004 Indonesia menyerahkan daftar berisikan 400 kategori produk yang terhitung peka dan berkepekaan tinggi (sensitive and highly sensitive goods) untuk dikecualikan dari skema liberalisasi CAFTA. Dalam daftar kepekaan mencakup 348 kategori tarif bidang bidang industri otomotif dan elektronik, termasuk industri komponennya, beberapa sektor industri tekstil dan kimia.

Sedangkan, daftar berkepekaan tinggi mencakup 50 kategori tarif, termasuk beras, gula, kacang kedelai, dan jagung. Selain itu ada beberapa kelompok makanan lainnya.

Dalam sidang AEM (ASEAN Economic Ministers Meeting) ke-36 di Jakarta pada September 2004 terjadi perundingan dengan China yang menghasilkan kesepakatan perdagangan dalam barang dan jasa, serta pokok-pokok pemecahan sejumlah masalah yang kemudian diformalkan ke pertemuan di Laos.

Dalam rangka CAFTA kebanyakan barang yang diperdagangkan antara Indonesia dan China implementasi penurunan/penghapusan tarifnya sebanyak 5.250 kategori produk dilakukan mengikuti skema dan waktu sebagai berikut:
1. Early Harvest Program (EHP) yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2004 secara bertahap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun, tarif bea masuknya produk yang mencakup EHP sejumlah 449 produk menjadi nol persen (0%).

2. Normal Track I, sejumlah 3.913 kategori produk dengan penurunan tarif bea masuk menjadi nol persen (0%) mulai tahun 2005.

3. Normal Track II, sejumlah 490 kategori produk dengan penurunan bea masuk mulai tahun 2012.

4. Sensitive/Higly sensitive sebanyak 398 kategori produk yang jumlah penurunannya masih dirundingkan lebih rinci.

Departemen Perdagangan RI pada 2004 mencatat bahwa pengelompokan tarif ini didasarkan pada enam digit kategorinya ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN).

Dalam hal inilah para pebisnis Indonesia hendaknya memahami dan mencermati bahwa diberlakukannya CAFTA, maka negeri ini akan menikmati berkurangnya hambatan non-tarif (non tariff barrier/NTB) atas berbagai produk ekspor ke China.

Dewasa ini masih terdapat sebanyak 13 (tiga belas) jenis komoditi yang terkena NTB, antara lain minyak olahan, kayu, polyester, serat akrilik, karet alam, ban (karet), natrium sianida, gula olahan, pupuk kimia, tembakau dan rokok, serta kuota sekaligus tarif bea masuk ke China atas kakao senilai 10% , sedangkan dari Malaysia nol persen. Untuk kelapa sawit yang tidak jelas pengenaannya dan menyebabkan kalah bersaing dengan yang berasal dari negara lain.

Dari kesepuluh produk tersebut, Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang cukup besar di China. Sayangnya karena kelemahan dalam berdaya saing dengan sesama ASEAN, banyak dari komoditas tersebut mulai kehilangan pangsa pasarnya. Berbagai produk Indonesia yang melemah daya saingnya karena umumnya pebisnis di negeri ini masih saja memfokus pada pasar yang tidak mengalami pertumbuhan atau tidak menyadari bahwa pebisnis China mulai menggeliat memberdayakan potensi internal yang tadinya tidak digarap.

Dalam hubungan dengan Indonesia, pihak China sangat menyadari dan memahami tersedianya sumber daya alam sebagai bahan baku untuk industri di China.

Data ekspor non-migas Indonesia ke China tahun 2005 menunjukkan ekspor yang makin signifikan adalah Kelapa sawit, pulp, karet alam, balata, kopra, tembaga, dan bahan baku sumber daya alam lainnya.

Pebisnis Indonesia agaknya harus menyadari sekaligus memahami bahwa Malaysia, Singapura dan Filipina sebagai sesama anggota ASEAN terhitung pesaing komoditi ekspor ke China. Selain itu, pebisnis Indonesia hendaknya tidak menutup mata bahwa masih adanya sejumlah hambatan memasuki pasar China, layaknya hambatan NTB yang setiap waktu berubah. Dewasa ini NTB itu berupa kuota, sistem perizinan masuknya produk minyak olahan, kayu, karet alam dan sejumlah komoditas lainnya.

Banyak sekali kalangan elit bersama pebisnis nasional di negeri ini belum cukup andal memanfaatkan negosiasi regional untuk memperoleh atau memperdalam pangsa pasar atas sejumlah produk yang selama ini menjadi unggulan memasuki China.

Satu hal yang patut dicermati kalangan elit dan pebisnis Indonesia adalah bahwa selama krisis keuangan Asia 1997-1998 justru cadangan devisa China sejak itu meningkat terus. Bahkan, Negeri Tirai Bambu itu menurut berbagai telaah tercatat memiliki cadangan devisa pada akhir 2009 mencapai sekira 2,2 triliun Amerika Serikat (AS). Meningkatnya cadangan devisa itu menunjukkan kompetensi dan kapasitas China, khususnya dalam hal ekspor.

Pelayanan birokrasi Indonesia yang “lebih bermutu, lebih cepat, dan lebih murah” (better, faster and cheaper) hendaknya bukan slogan politis. Demi efisiensi pelaku bisnis dari pusat sampai ke daerah-daerah yang potensial perlu mengisi CAFTA. Di pihak bisnis harus terus dikelola dengan produktivitas, termasuk permberdayaan manajemen menengahnya yang makin meningkat dan tidak membosankan.

Siapkah Indonesia menghadapi CAFTA? Ataukah mereka perlu kembali bernegosiasi untuk menunda dengan langkah-langkah yang lebih rinci dan substansial, misalnya CAFTA dimulai tahun 2012? Inilah serangkaian tantangan bagi kita semua, terutama kalangan pebisnis dan elit politik dan pengamat maupun pemerintah.

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia, dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) di Jakarta.

Oleh Bob Widyahartono MA
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009