Jakarta (ANTARA News) - Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) meminta agar ketentuan tentang serikat pekerja (SP) nasional harus memiliki pengurus di daerah dan cabang dihapuskan karena kekuatan suatu organisasi tidak ditentukan oleh pembentukan pengurus di daerah-daerah.

Presiden KPI Hanafi Rustandi dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan kekuatan serikat pekerja sangat ditentukan oleh jumlah riil anggotanya.

"Keabsahan organisasi ditentukan oleh jumlah anggota yang mampu membayar iuran secara rutin, bukan karena pembentukan pengurus daerah/cabang yang terkadang tidak memiliki anggota," kata Hanafi.

Dikatakannya, banyak SP lemah karena tidak mampu memungut iuran dari anggotanya. Kelemahan ini berdampak pada pengembangan organisasi, yang juga berdampak pada lemahnya posisi tawar dalam melakukan perundingan dengan pemerintah dan pengusaha.

Untuk menunjukkan kekuatannya, banyak SP yang mengklaim jumlah anggota sekian juta orang. Tetapi kenyataannya, tidak terbukti karena tidak didukung data, seperti kartu anggota dan iuran bulanan secara rutin.

Terkait soal ini, KPI bertekad untuk mengubah paradigma organisasi serikat pekerja dari yang selama ini hanya sekedar "papan nama", menjadi organisasi kuat yang benar-benar memiliki sejumlah anggota yang riil.

SP yang kuat harus memiliki jumlah anggota yang konkrit, tidak sekedar membentuk pengurus di daerah-daerah dengan memasang papan nama, tapi dalam kenyataan anggotanya tidak jelas.

Perubahan paradigma SP ini akan menjadi salah satu pembahasan dalam Kongres ke-7 KPI yang akan dibuka Menteri Perhubungan pada 15 Desember 2009 di Hotel Sheraton, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

Kongres yang dihadiri 114 delegasi dari lima Regional KPI itu juga akan dihadiri perusahaan pelayaran, serta perwakilan International Transport Workers Federation dan International Labour Organizatinon dari sejumlah negara.

Sebelumnya, Depnakertrans mensyaratkan sebuah serikat pekerja berskala nasional jika memiliki pengurus di semua provinsi dan kabupaten/kota. "Kebijakan itu tidak tepat, karena keanggotaan KPI bersifat `mobile`. Semua pelaut bekerja di kapal-kapal, baik di dalam maupun luar negeri," katanya.

Dia mengakui, berdasarkan data terakhir keanggotaan KPI menurun dari sekitar 35.000 orang, kini menjadi 17.500 orang yang tersebar di lima regional, yakni Jakarta, Bali, Bitung, Balikpapan dan Ambon. Dari jumlah itu, sebagian besar bekerja di luar negeri dengan gaji minimal 850 dolar AS.

Konggres KPI akan menetapkan perubahan AD/ART, program kerja KPI untuk lima tahun mendatang, serta memilih pengurus baru periode 2009-2014. Salah satu syarat menjadi pengurus baru bila telah menjadi pengurus KPI di tingkat nasional selama 10 tahun.

"Pengurus KPI harus profesional, karena KPI merupakan organisasi independen dan tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun," kata Hanafi yang memimpin KPI sejak 2004.

Kongres KPI juga akan mengusulkan agar pemerintah segera menetapkan upah minimum bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal nasional.

Ketentuan ini sangat penting untuk mendukung pelaksanaan azas "cabotage", sehingga perusahaan pelayaran nasional yang wajib mengangkut muatan domestik, tidak kesulitan mendapatkan awak kapal yang profesional.

"Selama ini pelayaran nasional kesulitan mendapatkan pelaut tingkat perwira karena mereka lebih tertarik bekerja di luar negeri dengan gaji yang lebih tinggi," ujarnya.

Hal lain yang akan dibahas adalah konsekuensi atas masuknya Indonesia menjadi anggota Council International Maritime Organization (IMO).

KPI minta seluruh lembaga pendidikan pelaut di Indonesia harus memenuhi standar IMO, sehingga kualitas pelaut semakin mampu bersaing di pasar internasional.

Organisasi itu juga akan membuat tradisi baru dimana kongres KPI tidak akan difokuskan pada pemilihan pengurus, melainkan pada program kerja dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pelaut.

"Pimpinan KPI harus menyiapkan pengurus baru melalui kaderisasi dengan sistem estafet, sehingga tidak menimbulkan friksi dan tidak saling menjatuhkan," kata Hanafi. (*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009