Vientiane, (ANTARA News) - Bagi sebagian orang, bayangan Laos barangkali sebuah negara terbelakang, dipenuhi oleh orang-orang bertelanjang kaki serta tentara bertubuh kerempeng yang menenteng senjata buatan Rusia.

Atau juga bayangan tentang sebuah negara yang masih porak poranda karena pernah dihujani bom setiap delapan menit oleh pesawat AS untuk menghukum negara itu karena melindungi tentara Vietnam saat terjadi perang pada 1973.

Bayangan tersebut akan sirna jika sudah menginjakkan kaki di negara tanpa laut berpenduduk sekitar tujuh juta itu.

Mobil sport Porsche atau Mercedes yang menjadi tunggangan anak muda Laos, dan terlihat lalu lalang di pusat kota, merupakan pemandangan yang sudah tidak aneh lagi.

Jalan-jalan utama di Vientiane juga diramaikan oleh mobil-mobil pribadi dengan merek-merek terkenal lainnya dan tidak kalah dengan pemandangan sehari-hari di Jalan Sudirman atau Jalan Thamrin di Jakarta.

Di pusat keramaian kota seperti di pinggir sungai Mekong, menjadi pilihan banyak turis untuk menghabiskan waktu bersantai sampai menikmati bir Laos. Suasana di sekitar daerah tersebut mengingatkan kepada suasana sepanjang pantai Kuta di Bali.

Peninggalan sejarah kolonial Perancis, keindahan alam serta kekayaan budaya lebih dari 130 etnis, menjadikan Laos menjadi salah satu tujuan wisata paling menarik di Asia Tenggara, terutama bagi para petualang (backpacker) yang mencari suasana berbeda.

Tempat yang menjadi tujuan utama wisatawan asing adalah Luang Prabang, sekitar 10 jam perjalan darat dari Vientiane, salah satu peninggalan bersejarah yang termasuk salah satu warisan dunia (world heritage).

Kedatangan sekitar 1,6 juta turis setiap tahun lebih membawa rejeki bagi masyarakat setempat, melebihi apa yang mereka dapatkan dari hasil bumi, terutama emas, sektor garmen dan pertanian.

Meski sebagai ibukota negara, Vientiane yang berpenduduk sekitar 600 ribu tersebut memang tidak terlihat seperti kota metropolitan seperti Jakarta atau Kuala Lumpur, apalagi Singapura.

Kondisi dan karakter kota Vientiane hampir sama dengan ibukota kabupaten di jalur Pantura seperti Cirebon. Tidak terlihat antrian panjang mobil yang terjebak kemacetan seperti yang sering menjadi pemandangan keseharian di Jakarta.

Situasi di ibukota tersebut saat ini dipastikan lebih sepi dibanding hari-hari sebelumnya karena sedang mengadakan perhelatan besar pesta olahraga Asia Tenggara yang untuk pertama kalinya mereka adakan.

Waktu pun seperti berjalan lambat karena kehidupan sehari-hari terlihat lebih santai, tidak terlihat orang-orang yang bergegas di karena sudah terlambat masuk kantor, misalnya.

Tentara berseragam yang tampak siaga di berbagai sudut jalan, juga lebih banyak menghabiskan waktunya bermain kartu dengan rekan-rekannya.

Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata delapan persen pada 2000-an, Laos sudah diambang impian lepas dari status sebagai salah satu dari 20 negara termiskin dunia pada 2020.

Dalam sepuluh tahun terakhir, produktivitas tenaga terjada juga menunjukkan peningkatan pesat, yaitu hampir 20 persen, membuat sektor pertanian tumbuh sebesar lima persen selama periode tersebut.

Sebagai dampaknya, tingkat kemiskinan di desa pun berhasil ditekan dari 50 persen menjadi 40 persen. Angka tersebut memang diakui masih tinggi, tapi secara nasional sudah berkurang 25 persen.

Laos tampaknya berusaha keras untuk mengejar ketingalan mereka dengan negara tetangga dan ingin menunjukkan bahwa mereka mampu bersaing di kasawan Asia Tenggara.

Setidaknya tekad tersebut sudah diperlihatkan di SEA Games dan salah contoh kebangkitan Laos adalah di bidang olahraga.

Salah satu pihak yang merasakan kehebatan Laos adalah tim sepak bola Indonesia yang dipecundangi 2-0 pada penyisihan grup pada 7 Desember lalu di Stadion Chao Anouvong.(*)

Pewarta: Oleh Atman Ahdiat
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009