Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyadapan mengemukakan, pemaksaan terhadap proses pembuatan RPP bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.

Siaran pers dari Koalisi Menolak RPP Penyadapan yang diterima ANTARA, Selasa menyatakan dari aspek politik-hukum, RPP tersebut justru bisa menjadi bumerang bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Rancangan itu dapat menjebak dan membuat banyak kalangan menilai bahwa pemerintah seolah-olah tidak berkomitmen dengan gerakan pemberantasan korupsi.

Selain itu, LSM juga memberikan pendapat bahwa RPP itu bisa dijadikan sebagai upaya untuk mencoba melemahkan kewenangan penyadapan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Koalisi juga mengingatkan, sejumlah putusan MK telah mengatur bahwa persoalan penyadapan hanya bisa diatur dalam kebijakan setingkat Undang-Undang (UU) dan bukan setingkat Peraturan Pemerintah (PP).

Koalisi LSM itu antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII).

Sebelumnya, ICW juga telah mengeluarkan pernyataan bahwa RPP Penyadapan merupakan babak baru untuk melemahkan kewenangan KPK.

LSM antikorupsi itu berpendapat, RPP Penyadapan pada intinya justru berpotensi mempersempit ruang gerak KPK, memperpanjang birokrasi, memungkinkan terjadinya kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktik korupsi di lembaga peradilan.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan tetap akan menuntaskan pembahasan RPP tentang Penyadapan dan mengesahkannya menjadi peraturan pemerintah.

Tifatul mengemukakan, pihaknya menampung dan menyalurkan setiap usulan dan koreksi berbagai kalangan terhadap draf RPP Penyadapan kepada tim yang bertugas merumuskan.

Ia juga menegaskan, pembahasan RPP Penyadapan sama sekali bukan upaya untuk membatasi kewenangan KPK karena baik Depkominfo maupun KPK memiliki pemahaman yang sama tentang tindakan pemberantasan korupsi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009