Kopenhagen (ANTARA News) - Koalisi Masyarakat Sipil terhadap Keadilan Iklim (CSF) melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak tegas untuk meminta pertanggungjawaban negara maju (Annex-1) untuk menurunkan emisi 40 persen.

"SBY tidak tegas meminta pertanggungjawaban negara Annex 1 untuk menurunkan emisi paling tidak sebesar 40 persen," kata Anggota CSF, Muhammad Teguh Surya yang juga Kepala Pengkampanye Walhi di Kopenhagen, Kamis.

Teguh menyatakan hal tersebut menanggapi pidato Presiden RI dalam pertemuan tinggi tingkat kepala negara/pemerintahan pada konfensi Perubahan Iklim dari UNFCCC di Kopenhagen, Denmark.

Teguh melihat apa yang diungkapkan Presiden Yudhoyono dalam pidatonya jauh dari persoalan perubahan iklim dan bagaimana menyelesaikannya.

"Presiden juga keliru solusi karena menjebak negara-negara selatan termasuk Indonesia untuk bertanggungjawab penuh untuk penurunan emisi tanpa melihat bahwa pelepasan emisi di negara berkembang adalah sebagai akibat kegiatan ekploitasi sumber daya alm untuk memenuhi kebutuhan negara maju," katanya.


Ajak Semua

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sesi pertemuan UNFCCC dengan sejumlah kepala negara, di Bella Centre, Kopenhagen, menyerukan kepada semua pihak untuk melepaskan ego mereka sehingga ada celah untuk tercapainya kesepakatan dan kerjasama bisa mendapat hasil yang maksimal.

"Sekarang bukan saatnya untuk dogma dan konfrontasi. Saatnya sekarang untuk solusi dan konsensus. Dogma yang ada saat ini hanyalah human survival," kata Presiden saat menyampaikan pidato dalam sesi pertemuan UNFCCC, Kamis sekitar pukul 12.00 waktu setempat.

Kepala Negara menjelaskan ada lima hal yang menjadi usulan dan pandangan Indonesia sehingga kesepakatan di Kopenhagen bisa dicapai.

"Target utama kita bersama adalah membatasi terjadi pemanasan global dimana kenaikan suhu udara tidak lebih dari dua derajat, Pada poin ini tentunya tidak ada kompromi. Untuk mencapai tujuan itu bisa dilakukan dengan melaksanakannya sesuai hal yang ada dengan tanggung jawab masing-masing dan saling menghormati kapabilitas yang dimiliki," katanya.

Hal yang kedua, yang menjadi pandangan Indonesia adalah Indonesia meminta negara maju untuk memenuhi kewajiban sejarah mereka untuk memperlambat, menghentikan bahkan mencegah pemanasan global.

Menurut Presiden, Indonesia percaya komitmen ini merupakan 40 persen dari yang diminta oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), di lain pihak Presiden juga meminta negara industri melakukan hal yang sama.

Selanjutnya, Indonesia, masih menurut Presiden memiliki pandangan agar mitigasi dan adaptasi serta kerjasama internasional tidak berarti tanpa adanya kesepakatan finansial dan inisiatif untuk dibentuknya hal tersebut merupakan awal yang baik.

"Dalam pandangan saya, angkanya berada dikisaran 25 juta dolar AS hingga 35 juta dolar AS hingga 2012 mendatang. Negara maju memiliki kemampuan untuk itu, hanyalah tinggal kemauan politik, yang patut kita ingat beberapa juta dolar tersebut tidak sebanding dengan enam triliun dolar AS yang hilang akibat krisis finansial global," tegasnya.

Hal keempat yang menjadi pandangan Indonesia adalah mitigasi yang dilakukan oleh negara maju sendiri tidak cukup. Negara berkembang harus melakukan usaha lebih dan harus memiliki komitmen untuk pengurangan karbon sehingga tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh negara-negara maju sehingga memberikan kontribusi pada masalah iklim.

Presiden juga menyatakan terkait hal tersebut Indonesia pada September 2009 telah menetapkan pengurangan emisi dengan target 26 persen hingga 2020. Dan jumlah pengurangan emisi itu bisa meningkat menjadi 41 persen bila didorong oleh bantuan internasional. Sebagai negara yang tidak termasuk annex 1, menurut Yudhoyono Indonesia tidak perlu memutuskan hal tersebut.

"Namun kami ingin menjadi bagian dari solusi global," tegasnya.

Rekomendasi kelima adalah agar negara maju dan berkembang bersama-sama memastikan jumlah bantuan berjalan sesuai dengan yang disepakati maka diperlukan suatu sistem pengawasan namun yang dipantau bukan hanya negara berkembang, tapi juga bantuan negara, progres dan implementasi bantuan negara maju terhadap negara berkembang juga harus dimonitor.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009