Jakarta (ANTARA News) - Dalam penyelengaraan negosiasi yang didahului proses lobi, para pihak yang menjadi negosiator perlu memahami ungkapan perilaku (behavioral modes) lawan bicara atau negosiator lain dengan berupaya menafsirkan (interpret) secara seksama tanda-tanda kultural, baik yang verbal maupun non-verbal, guna dipertukarkan dalam perjumpaan lintas kultural.

Pengamatan semacam itulah yang berkaitan dengan gaya perilaku guna mengungkapkan perbedaan yang mendasar di antar-bangsa, seperti Amerika dan Eropa (kelompok dunia Barat) menghadapi Asia (dunia Timur). Asia dalam hal ini adalah perhimpunan bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di 10 negara plus tiga, yakni China, Jepang dan Korea Selatan.

Para pengamat dapat mengobservasi bahwa bagaimana bangsa Asia memaknai waktu (just-in time) tanpa tergesa-gesa dan ruang berpikir, keterbukaan sosial dan menghormati tradisi yang lebih berumur (elders) menghadapi perilaku dan sikap pandang Barat. Bangsa Asia, kecuali yang sudah kebarat-baratan, tetap memiliki kekuatan hasrat untuk tetap mengedepankan harmoni sosial.

Cara pendekatan Asia yang sudah melekat (built-in) dengan sistem citra diri berbeda dengan yang dihayati Amerika dan Eropa. Misalnya, dunia Barat mengagungkan budaya rasa bersalah (guilt culture) lawan negiosator, sedangkan Asia justru menghayati budaya rasa malu (shame culture) dalam mencari konsensus (win-win solution).

Lalu, apa esensinya negosiasi? Negosiasi merupakan suatu proses penetapan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat, dan bukan model mau menang sendiri dengan segala trik-trik rekayasa menekan dengan berbagai cara tidak etis lawan negosiator. Negosiasi merupakan suatu proses hubungan interaksi yang memakan waktu (bukan boros waktu) didasarkan atas kemauan memperoleh kesepakatan pikiran (meeting of minds).

Inti organisasi bisnis Asia adalah awalnya bisnis keluarga dan dalam perjalanan waktu ada yang sudah mengalami suksesi. Berangkat dari karakteristik dasar, maka semua pihak menyaksikan kekuatan operasi bisnis dan manajemen yang dengan kerjasama tim (guanxi) dan dilekati sikap mempercayai (shinyung dalam bahasa China atau trust dalam bahasa Inggris) yang ditumbuhkan melalui tradisi dan interaksi dengan lingkungan dimana mereka beroperasi.

Sekalipun landasannya adalah bisnis Asia kecil milik keluarga dan tumbuh menjadi skala menengah dan besar, dalam pola pikir mereka ingin menggapai/memperluas peluang segmen pasar yang ada dengan hati nurani dan sikap pandang yang tidak mau mengacaukan pesaing atau sesama pelaku bisnis.

Dengan kemajuan masyarakat, maka semua pihak dapat memanfaatkan produk piranti keras maupun piranti lunak teknologi informasi (telepon seluler, Internet, Facebook ), teknologi proses produksi dan teknologi transportasi. Hanya saja, semua pihak juga bakal merasakan tetap ada desakan menghargai waktu, tetapi tidak dalam arti quick-fix untuk mengembangkan bisnis menjadi skala menengah dan besar.

Di Asia ada perilaku tetap menghargai muka dan tidak sombong dengan cara "menekan-nekan" atau membentak-bentak lawan bicara dalam negosiasi. Menghargai "muka" merupakan budaya Asia yang tidak dapat dihapuskan dengan membuat takut lawan negosiator. Memperlihatkan sikap sopan, menghargai pendapat dan pandangan, serta kesabaran dalam bertutur-kata dengan tetap menghargai efisiensi, fleksibilitas merupakan wujud apresiasi yang diharapkan mitra/lawan negosiator. Sikap sabar dalam arti "kesabaran adalah suatu kebajikan" (patience is a virtue) merupakan suatu keunikan tersendiri.

Bila di Jepang, para pihak ketika berinteraksi dengan sesamanya bahkan dengan pimpinan organisasi bisnis akan tersedia waktu dalam arti "just-in-time" sesuai lamanya waktu yang disepakati lebih dahulu untuk berdialog tanpa mereka bersikap tergesa-gesa.

Sejumlah literatur China kuno mencatat sejumlah karakteristik negosiator yang berhasil dengan cara mengembangkan pendekatan sebagai berikut: 1. zhi (kebajikan), 2. xin (kredibilitas), 3. ren (tanggungjawab pribadi), 4. yong (ketabahan hati), dan 5. yan (disiplin)

Setiap negosiator, baik yang sudah berpengalaman maupun yang baru, dalam hal ini perlu terus menyadari dan menghayati makna kelima karakter humanistik ala China tersebut, antara lain dengan mendayagunakan teknologi informasi sesuai kebutuhan tahapan-tahapan negosiasi.

Pada intinya, para negosiator perlu memahami karakteristik tersebut sebagai manusia berakhlak, dan bukan yang mau menang sendiri dengan tekanan-tekanan psikis maupun fisik yang tidak etis. Dengan kata lain, mereka harus pula berani menanggalkan ciri-ciri masa lampau yang penuh intrik atau ketidakjujuran dan sok paling hebat lantaran ingin cepat selesai melampaui tahapan-tahapan negosiasi dengan mencontek gaya Barat. Kaum bijak China memberi nasehat: "Beranilah menatap cermin setiap pagi selama 60 detik sebelum sarapan pagi, dan menggugat yang ada di cermin secara jujur dan tidak tergesa-gesa."

Kini memasuki era Asia makin banyak pengamat dan negosiator Barat serta pelaku Asia, yang menyerap pendidikan penuh bobot kebaratan, mulai menyadari makna positif karakter humanistik Asia tersebut dan bukanlah ilusi.Manusia Asia dasarnya senantiasa mendambakan harmoni dan bukan mahluk dewa tanpa kelemahan-kelemahan manusiawi.

Hal ini pula yang menjadi tantangan yang para negosiator Indonesia dalam proses bernegosiasi sosial maupun bisnis di era Asia yang makin dinamis memasuki tahun 2010, tanpa arogansi hanya menjiplak sikap pandang gaya Barat. (*)

*) Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi Asia; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono M.A. *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009