"Lenong, ente di mane?" menjadi pertanyaan yang kerap muncul di benak pecinta teater rakyat khas Betawi itu.

Pada 1970-an hingga 1980-an lenong menjadi primadona di TVRI, sehingga orang akrab dengan Bokir, Nasir, Anen, Mpok Siti, Malih dan Mandra, yang dengan dialog-dialog spontan dan kocaknya menghibur pemirsa televisi.

Dari layar kaca, para pemain lenong itu berkiprah di layar lebar. Meski peran mereka dalam film layar lebar tidak ada hubungannya dengan lenong, namun dialek yang mereka gunakan tetap menunjukkan bahwa mereka adalah orang Betawi.

Namun kini sulit menyaksikan lenong secara rutin di televisi, padahal televisi kini tidak hanya TVRI. Belum jelas alasan televisi tidak menayangkan lenong yang bisa saja dibutuhkan masyarakat untuk menghilangkan kepenatan setelah beraktivitas di tengah kehidupan Jakarta yang keras.

Selain tidak ditayangkan di televisi, pertunjukkan lenong pun sulit ditemukan di tempat yang mudah dikunjungi masyarakat. Maklum, di Jakarta saat ini belum ada Gedung Kesenian Betawi, tempat pertunjukkan yang diidam-idamkan sejumlah pelaku seni Betawi.

Padahal jika ada Gedung Kesenian Betawi, pelaku seni Betawi mempunyai tempat untuk menunjukkan seni mereka yang merupakan embrio kesenian Jakarta.

Jika gedung itu berdiri, tentu saja pemangku kepentingan budaya Betawi lainnya tahu harus kemana jika ingin mengetahui dan menikmati seni budaya Betawi tersebut.

Selain itu diharapkan perkembangan seni budaya Betawi bakal tidak mandek karena komunikasi antara seniman dan penikmat seni berjalan lancar.

Sementara bagi penggiat pariwisata di Ibu kota pun bakal memiliki objek pariwisata budaya yang dapat dipertunjukkan kepada wisatawan, baik dari domestik maupun luar negeri.

Pertunjukan lenong saat ini seperti kehilangan pamor. Padahal seperti dibilang Ridwan Saidi, budayawan Betawi, lenong adalah tontonan yang sarat muatan moral.

Menurut James Danandjaja, dalam kata pengantarnya di buku Teater Lenong Betawi, lenong dilihat dari sudut ilmu folklor termasuk seni pertunjukkan rakyat atau teater rakyat yang diwariskan bukan saja secara lisan tetapi juga gerak-gerik isyarat.

Lenong juga termasuk folklor karena ia bersifat tradisional dalam arti keberadaannya telah beberapa turunan.

Ciri lain yang juga penting dari folklor yang dimiliki seni lenong, kata Danandjaja, adalah sudah tidak diketahui lagi penciptanya, karena ia sudah menjadi milik suatu kolektif, yakni suku bangsa Betawi.

Dalam suatu laporan disebutkan bahwa lenong sebagai tontonan sudah dikenal sejak 1920-an. Firman Muntaco, seniman Betawi terkenal, menyebutnya sebagai kelanjutan dari proses teaterisasi dan perkembangan musik gambang kromong.

Jadi, lenong adalah alunan gambang kromong yang ditambah unsur lawakan tanpa plot cerita.

Kemudian berkembang menjadi lakon-lakon berisi banyolan pendek, yang dirangkai dalam cerita tak berhubungan. Lantas menjadi pertunjukan semalam suntuk, dengan lakon panjang utuh, yang dipertunjukkan lewat ngamen keliling kampung.

Selepas zaman penjajahan Belanda, lenong naik pangkat, karena mulai dipertunjukkan di panggung hajatan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan panggung.

Saat itu, dekornya masih sangat sederhana, berupa layar sekitar 3x5 meter bergambar gunung, sawah, hutan belantara dengan pepohonan besar, rumah-rumah kampung, laut dan perahu nelayan serta balairung istana dengan tiang-tiangnya yang besar.

Alat penerangannya pun tradisional, berupa colen, obor tiga sumbu yang keluar dari ceret kaleng berisi minyak tanah. Sebelum meningkat jadi petromaks.

Walaupun terus menyesuaikan diri dengan maunya zaman, untuk terus hidup, lenong harus berjuang keras, sesuatu yang tak mudah. Pada 1960-an, masih dengan mengandalkan durasi pertunjukan semalam suntuk dan konsep dramaturgi sangat sederhana, lenong mulai kedodoran.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa pada 1970-an, bersama para dedengkot Taman Ismail Marzuki (TIM), seperti Sumantri Sostrosuwondo dan Daduk Jayakusumah, pegiat budaya Betawi SM Ardan dan Ali Shahab bertekad menggaet lenong ke tempat terhormat, lewat revitalisasi lenong.

Intinya, memberi kesempatan manggung sebanyak-banyaknya buat para seniman kocak itu agar nama mereka ikut terangkat.

Di TIM, durasi lenong yang semalam suntuk disunat jadi tiga jam saja. Selain itu, dramaturgi sederhana ikut diperkenalkan kepada pemain.

Pemain diajarkan tentang dialog, artikulasi, frasa, nuansa dan "blocking" sebagai bagian dari dinamika pementasan.

Tata panggung yang lebih realistis juga diperkenalkan; mulai pemakaian rias wajah untuk menggantikan cemongan dan bedak, pemasangan "hair creppe" buat kumis dan jenggot, hingga efek khusus untuk darah dan luka.

Selama beberapa tahun, lenong ngetren di TIM dan tempat-tempat pertunjukan lainnya. Anak lenong seperti Bokir, Nasir, Anen, Nirin, M Toha, Mpok Siti, Naserin, ikutan beken.

Kehidupan mereka pun terangkat lewat tawaran iklan, penampilan di TVRI, bahkan main film layar lebar.

Gencarnya "kampanye lenong" di TIM dan TVRI bukan hanya membawa dampak positif buat mata pencaharian pelakonnya. Tapi juga menyebarkan pengaruh, orang Betawi menyebutnya sebagai "hikmah budaya", yakni merasuknya dialek Betawi ke seluruh nusantara.

Para pemain lenong itu bisa dibilang sukses mensosialisasikan dialek "kampung" itu, bahkan "mengangkatnya" menjadi bahasa pergaulan remaja.

Bisakah pergantian tahun dari 2009 ke 2010 menjadi momentum yang pas untuk kembali memikirkan kelanjutan hidup teater rakyat khas Betawi yang tengah redup itu?

Seperti dikatakan Ridwan Saidi, lenong adalah tontonan sarat muatan moral; si jahat, sampai kapan dan sekuat apa pun, harus takluk pada kebenaran. Namun, ajara moral itu tetap disampaikan dengan canda, hingga tak membuat merah telinga.

Kalau lenong ada saat ini, boleh jadi mereka melakonkan tingkah laku elite politik yang kini sedang "berperang".
(*)

Oleh Oleh Ahmad Buchori
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009