lenong cenderung menjadi tradisi yang memusat lantaran pada masa awal perkembangannya, para pemainnya merupakan orang-orang terpilih yang tergabung di dalam komunitas budaya.
Jakarta (ANTARA) - Bagaimana kabar lenong Betawi? Sepertinya sudah lama tak mendengar kiprahnya sejak terakhir acara televisi bernuansa budaya Betawi itu beberapa tahun lalu.

Selebihnya, publik seperti tidak mendengarnya lagi. Kalaupun ada barang kali penikmatnya memusat, terkonsentrasi pada segmen pecinta budaya saja atau masyarakat Betawi yang benar-benar menggandrungi tradisinya.

Bagi yang belum benar-benar mengenal lenong, produk budaya Betawi ini merupakan seni perpaduan antara dialog, gerakan tari, musik tradisional, dan teater tradisional yang menggambarkan kebiasaan sehari-hari masyarakat Betawi pada zaman dahulu.

Lenong kerap menyajikan cerita dan humor keseharian yang menggelakkan penonton. Lenong Betawi umumnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu Lenong Denes dan Lenong Preman. Lenong Denes menceritakan sebuah kehidupan kerajaan dan bersifat formal, menggunakan pakaian khusus, dan komunikasi yang digunakan merupakan bahasa Melayu tinggi.

Berbeda dari Lenong Denes, Lenong Preman justru mengisahkan kehidupan sehari-hari selayaknya seorang rakyat kecil di Indonesia. Disebut preman lantaran cara berbusana para pemainnya yang menggunakan pakaian santai sehari-hari. Penyampaian lakonnya juga bertema kerumahtanggaan, contohnya seperti lakon lenong Si Pitung dan Jampang Jago Betawi.

Dan kabar baiknya, lenong Betawi sampai saat ini masih punya panggung. Praktisi budaya lenong Betawi, Tutur Denes, mengatakan jika ingin menonton lenong Betawi, sesekali datanglah ke pusat-pusat budaya atau kesenian, atau ruang pertunjukan.

Misalnya saja pada 1 Juni 2023, di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, sebuah pertunjukan Lenong Denes berlangsung meriah.

Pertunjukan yang diinisiasi oleh komunitas budaya Kembang Batavia Group itu mempersembahkan inovasi baru dalam lenong dengan akting dan penampilan yang sangat memukau.

Persembahan Lenong Denes Nyi Pohaci ini menggabungkan antara drama, dialog lucu disertai pantun, tarian, nyanyian, dan alat musik tradisional yang digabungkan dengan alat musik modern. Sebuah inovasi adaptasi ini berhasil menarik perhatian pengunjung yang hadir.

Selain itu, penampilan visual dari pertunjukan lenong ini juga sangat memukau. Set design, kostum, dan make-up yang digunakan dalam pertunjukan ini dirancang dengan sangat baik, menciptakan atmosfer yang sesuai dengan cerita. Musik dan efek suara disesuaikan dengan adegan yang terjadi.

Di balik pertunjukan Lakon Lenong Denes Nyi Pohaci tentunya ada persiapan yang harus dilakukan agar pertunjukan berjalan dengan lancar.

Ia dan grupnya melakukan persiapan manajemen selama satu bulan dan dilanjutkan di bulan berikutnya dengan melakukan latihan sebanyak enam kali.

Persiapan matang itu wujud sebuah upaya untuk menunjukkan pada dunia bahwa lenong Betawi masih ada.


Menolak punah

Memang harus diakui ternyata kebudayaan asal Betawi ini hampir mengalami kepunahan sampai pada tahun 1970.

Bahkan pada saat itu tidak ada literatur tentang lenong di Tanah Betawi. Melihat kondisinya seperti itu, Tutur Denes--yang awalnya hanya memiliki latar belakang pengetahuan dari sebuah teater modern--ingin mengangkat kembali Lakon Lenong Denes.

Ia berangkat ke Kalimantan Selatan untuk mempelajari dan mencari literatur tentang Lenong Denes yang justru terjejak hingga ke tanah Kalimantan.

Dan, ia menemukan sejumlah literatur mengenai lenong di sana, termasuk beberapa pelakunya yang hijrah ke Kalimantan untuk menyambung hidup.

Dari situlah, ia mulai merintis teater tradisional Betawi. Dan ia menemukan, agar kesenian ini tetap eksis, ia dan komunitasnya berupaya membuat lenong beradaptasi dengan mulai menggabungkan alat musik tradisional dengan instrumen modern.

Perpaduan antara alat musik klasik dan modern, memberikan nuansa baru dalam pementasan lenong yang menarik perhatian penonton, dengan kesegaran dari sebuah inovasi yang dibuat.

Secara orisinal, pertunjukan lenong hanya diiringi oleh gambang kromong tetapi seiring berkembangnya zaman dan memasuki era modern, sudah banyak alat musik modern yang bermunculan.

Saat ini, pertunjukan lenong menggunakan instrumental yang sudah diinovasi dengan musik modern. Beberapa alat musik yang digunakan antara lain drum elektrik, keyboard, gitar listrik beserta distorsi, dan saksofon.

Tutur Denes menyampaikan inovasi musik modern yang disajikan pada Lakon Lenong Denes sudah dilakukan sejak 3 tahun belakangan ini.

Inovasi tersebut dilakukan agar lakon lenong tetap menarik perhatian masyarakat, terutama bagi kalangan muda.

Generasi muda Betawi kini cenderung memilih drama sitkom (komedi situasi) ketimbang nonton lenong. Bahkan generasi sebelumnya pun lebih tertarik untuk menonton sitkom di televisi ketimbang harus datang ke tempat lakon lenong berpentas.

Dengan keadaan lenong yang perlahan tidak lagi dihiraukan oleh semua kalangan di Ibu Kota khususnya, maka upaya pelestarian seni pertunjukan ini harus dilakukan demi mempertahankan budaya Betawi agar tetap lestari.

Tutur Denes yakin kekuatan suatu daerah tergantung pada kelestarian budayanya. Jika budayanya tergerus habis oleh kultur asing maka perlahan-lahan identitas budaya daerah akan terkubur dan hilang kearifan lokalnya.

Maka ia pun tak tinggal diam. Bersama komunitasnya ia melakukan adaptasi lenong seperti dalam hal ide cerita yang dipentaskan. Misalnya saja dalam pertunjukan di TIM beberapa waktu lalu.

Tutur Denes sendiri selaku sutradara dari Lakon Lenong Denes Nyi Pohaci ingin mengolaborasikan lenong khas Betawi dengan gaya modern, seperti halnya cerita cinta Romeo dan Juliet.

Ikhtiar tersebut potensial menjadi "komoditas" yang disukai oleh anak-anak muda yang diharapkan kembali menarik perhatian.

Ia pun berharap kolaborasi lenong dengan produk modern bisa menjadi awal kembali diminatinya lenong sehingga produk budaya ini tetap menjadi sumber penghidupan bagi para pelakunya.

Tutur Denes mengakui lenong sampai saat ini belum bisa dijadikan sandaran ekonomi pegiatnya. Jadi, mereka tetap harus memiliki pekerjaan utama lainnya sehingga lenong ditempatkan sebagai hobi semata.

Meski begitu Tutur Denes, yang kini sedang mempersiapkan komunitasnya untuk membawakan lenong di luar negeri, tetap optimistis bahwa kesenian rakyat ini mampu eksis bahkan hingga mancanegara serta mengharumkan citra negeri ini.


Terus beradaptasi

Faktanya kini lenong Betawi mengalami banyak adaptasi termasuk dalam hal durasi. Jika dahulu pertunjukan kesenian ini dipentaskan semalam suntuk, kini lenong hanya dipentaskan dalam waktu 30-120 menit.

Ketua Komunitas Lenong Sikumbang Tenabang, Jumala Ridwan, menekankan pentingnya  lenong mengikuti perkembangan zaman tanpa harus melupakan akar budayanya.

Jadi, agar tetap khas sesuai pakem budayanya, lenong harus disajikan dengan diiringi oleh gambang kromong, sebab jika tidak, itu bukan lenong namanya. Selain itu, para pemeran harus memasuki arena pertunjukan dari kiri dan keluar dari kanan, atau sebaliknya. Hal itu merupakan pakem lenong yang sudah ada sejak dahulu kala dan masih digunakan sampai saat ini.

Pada era seperti sekarang ini, menjaga dan melestarikan budaya lokal sangatlah penting, termasuk melestarikan kesenian lenong.

Maka1 menempatkan lenong bukan semata sebagai hiburan merupakan keharusan, termasuk menjadikannya sebagai alat yang efektif dalam memperkenalkan budaya Betawi kepada masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Jakarta.

Menurut Jumala Ridwan, lenong cenderung menjadi tradisi yang memusat lantaran pada masa awal perkembangannya, para pemainnya merupakan orang-orang terpilih yang tergabung di dalam komunitas budaya. Artinya, tak semua orang bisa jadi pemain lenong.

Hal ini menyebabkan lenong sempat mengalami krisis generasi penerus. Oleh karena itu, sekarang tidak hanya orang-orang berdarah Betawi pegiatnya, tapi komunitas lenong sudah terbuka untuk semua kalangan.

"Komunitas Lenong ini terbuka untuk siapa saja, bukan hanya seniman atau budayawan, Komunitas Sikumbang Tenabang sendiri beragam anggotanya, ada yang sudah sarjana, seorang mahasiswa, beberapa juga merupakan seorang karyawan,” ucap Jumala Ridwan.

Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat lenong pun membuka diri demi tetap lestarinya lenong Betawi di tanah sendiri.

Lantas siapa yang masih rindu lenong? Kabar baiknya, kesenian rakyat ini masih bisa ditemui di panggung-panggung budaya Ibu Kota.

Maka, sering-seringlah menyesaki bangku penonton pertunjukan lenong.


*) Zelda Muhammad Mumtaza adalah mahasiswa Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta.
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023