Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan bahwa pemerintah telah menugaskan suatu tim khusus untuk selama dua pekan mengkaji sejumlah buku yang berkenaan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Saya sudah minta kepada tim, paling lama 15 hari, baru mulai hari ini bekerja, untuk mengkaji buku-buku itu (buku yang disebut-sebut mengancam NKRI), nanti hasil kajiannya dibawa ke rapat bersama Menko Polhukam untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya," kata Patrialis di Kantor Kepresidenan Jakarta, Senin.

Menurut dia, pemerintah belum mengatakan akan melarang sejumlah buku tertentu seperti yang diresahkan beberapa pihak."Kita belum bicara kalimat dilarang," katanya.

Ia mengatakan bahwa ada lebih dari 20 buku yang sedang dikaji oleh tim. Ia juga menjelaskan bahwa buku-buku yang dikaji adalah yang berkaitan dengan NKRI.

"Kita cinta NKRI, cinta kepada bangsa," ujarnya lalu mengemukakan bahwa yang dimaksud mengancam NKRI adalah yang memprovokasi bahwa Indonesia bukan negara kesatuan dan lain-lain.

Saat ditanya mengenai tindakan yang akan diambil terhadap peredaran buku-buku itu, Patrialis mengatakan "proses pengkajian belum selesai maka belum ada keputusan."

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mempersilakan bila para aktivis LSM akan mengujimaterikan pasal atau Undang-Undang (UU) yang terkait dengan pelarangan beredarnya buku-buku yang meresahkan.

Menurut Mahfud, keinginan untuk mengujimaterikan UU yang terkait dengan pelarangan buku tetap terbuka serta berpeluang untuk diproses dan disidangkan di MK.

Aktivis Kompak Effendi Ghazali mengatakan pihaknya berencana untuk segera memasukkan sejumlah permohonan uji materi ke MK.

Salah satu dari permohonan uji materi tersebut adalah terkait dengan penggunaan UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Pakar komunikasi Universitas Indonesia itu berpendapat UU tersebut dipakai sebagai dasar bagi pemerintah untuk melakukan pelarangan beredarnya sejumlah buku yang dianggap meresahkan masyarakat luas.

Dengan masih adanya pelarangan buku tersebut, menurut Effendi, adalah hal yang sangat disayangkan apalagi Indonesia telah dinilai banyak kalangan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.

Hal senada juga dikemukakan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Kontras telah melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung terkait dengan pelarangan peredaran sejumlah buku yang dianggap meresahkan masyarakat luas.

Rilis dari Kontras yang diterima ANTARA Newsmenyebutkan bahwa surat bernomor 432/SK-KontraS/XII/2009 itu telah dikirimkan pada tanggal 29 Desember 2009.

Dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa Kontras menyesalkan tindakan Jaksa Agung Hendarman Supandji yang melarang peredaran lima buah buku yang dianggap "mengganggu ketertiban umum", termasuk buku "Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto", karya John Roosa.

Menurut Kontras, tindakan kejaksaan menyerupai kebijakan Orde Baru yang melarang beredarnya sejumlah buku seperti karya Pramoedya Ananta Toer.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010