Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah partai politik (parpol) menggelar pertemuan guna mengaktifkan kembali tim penyelamat aset negara yang pernah dibentuk demi menuntut keadilan dan kesetaraan dalam konsolidasi demokrasi pasca reformasi 1998.

Menurut Ketua DPP Partai Nasional Benteng Kemerdekaan (PNBK) Bob Randilawe di Jakarta, Minggu, pertemuan lintas parpol itu merupakan upaya membuka kembali gugatan yang pernah dilakukan oleh 13 partai politik pada bulan November 2003 terkait pengembalian aset-aset negara yang dikuasai tiga partai lama, yakni PDIP, Partai Golkar dan PPP.

Dia mengemukakan bahwa pemberian aset negara kepada ketiga partai tersebut, telah mencederai asas perlakuan yang adil dari negara sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (a) UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol.

"Pemberian aset negara kepada ketiga parpol tersebut juga telah mencederai prinsip-prinsip `good governance`, khususnya prinsip kepastian hukum, prinsip keseimbangan, prinsip bertindak cermat, keadilan atau kewajaran, dan penyelenggaraan kepentingan umum," kata Bob.

Sebelumnya pada tahun 2003, sebanyak 13 parpol, yakni PAN, PKB, PBR, Partai Islam Indonesia (PII), Partai Merdeka, PKS, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme, Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), Partai Pelopor, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Pemersatu Bangsa (PPB), dan Partai Sarikat Indonesia (PSI) menggugat pengembalian aset-aset negara yang dikuasai PDIP, Partai Golkar dan PPP.

Waktu itu, Presiden Megawati, Sekretariat Negara, Gubernur DKI Sutiyoso dan BPN dinilai telah melanggar Pasal 18 dan 29 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik karena mereka dianggap telah memberikan sumbangan melebihi batas maksimum kepada tiga partai politik itu.

Bob Randilawe mengungkapkan bahwa hal penting yang akan dibahas dalam pertemuan lintas parpol kali ini adalah keabsahan secara hukum terkait pemberian/hibah atas tanah negara kepada tiga partai politik di masa orba, yaitu PPP, Golkar dan PDIP.

Secara hukum, ujarnya, pemberian aset negara kepada ketiga partai tersebut, merupakan tindakan melawan hukum, karena ketiganya bukan badan hukum yang diperbolehkan memiliki hak atas tanah menurut UU dan bukan pula badan keagamaan, perkumpulan koperasi atau badan-badan yang bergerak dibidang sosial dan kemanusiaan.

Kepemilikan aset ketiga parpol berupa kantor dan kesekretariatan, baik di tingkat pusat dan daerah itu dipermasalahkan keabsahaan kepemilikannya karena aset-aset tanahnya dianggap milik negara.

Hingga saat ini, PPP, Partai Golkar dan PDIP tetap menikmati fasilitas tersebut. Padahal ketika aset tersebut diberikan nama partainya masih PDI (sekarang PDIP) dan Golkar (sekarang Partai Golkar). Hanya PPP yang tetap namanya.

"Seharusnya ketiga partai tersebut segera mengembalikan kepada negara, bukan malah menikmatinya apalagi mereka sudah berganti nama partai," ujarnya.

Bob mengatakan bahwa dengan adanya Mahkamah Konstistusi (MK) pada saat ini, gugatan itu akan dibuka kembali melalui MK dengan harapan institusi itu kembali menunjukkan keberpihakan dan integritasnya pada kebenaran dan keadilan.

"Jadi kondisi saat ini sangatlah tepat untuk membuka kembali kasus tahun 2003 lalu dan para petinggi parpol

sangat yakin peluang dikabulkannya gugatan mereka oleh MK sangat besar," demikian Bob Randilawe.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010