Jayapura (ANTARA News) - Pater John Djonga, Pr, putra Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang lama menjadi pastor di hutan belukar Papua, menerima penghargaan "Yap Thiam Hien" 2009.

"Aktivitas saya adalah hal biasa, tetapi karena setiap kegiatan kecil direkam oleh wartawan dan diwartakan kepada publik sampai ada lembaga lain yang tahu dan memilih saya untuk menerima penghargaan itu (Yap Thiam Hien)," katanya di Jayapura, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi publik yang diselenggarakan sebuah LSM di Jayapura untuk "syukuran" atas penghargaan Yap Thiam Hien yang diterima Pater John pada pertengahan Desember 2009.

Bagi Papua, penghargaan itu merupakan yang kedua kalinya setelah tahun 1999 tercatat seorang perempuan berhati sekeras baja, Ny. Yosepha Alomang, menerima penghargaan itu.

"Mestinya, sejak Ibu Yosepha Alomang meraih penghargaan itu pada tahun 1999, tak ada lagi pelanggaran HAM," kata Sekretaris Eksekutif LSM Foker, Septer Manufandu.

Oleh karena itu, ia berharap tak ada lagi penghargaan serupa bagi mereka yang memperjuangkan penegakan HAM di Papua pada tahun-tahun berikut.

"Jika masih ada penghargaan, sebaiknya untuk bidang lain, bukan bidang penegakan HAM. Betapa memalukan jika sampai masih ada aktivis yang memperoleh penghargaan serupa, karena pemangku otoritas hendaknya mengubah pendekatan pembangunan di tanah kaya raya tapi 82 persen warganya hidup dalam kubang kemiskinan," katanya.

"Kepala Batu"

Sebagai seorang pastor, Pater John memang keluar-masuk hutan menemui umat yang hidup jauh di pelosok untuk memberikan penguatan iman, tetapi pada saat yang sama juga mendapat cercaan dari pemegang otoritas.

"Sikapnya yang suka melayani itu terkadang diberi predikat sebagai separatis dan bahkan disebut sebagai pastor `kepala batu`," kata Ketua Sekolah Tinggi Theologi Katolik Fajar Timur Jayapura, Pater Neles Tebay.

Menurut dia, Pater John adalah pastor yang namanya pasti tercatat di Vatikan sebagai gembala yang berhasil mengemban misi Gereja yakni memperjuangkan martabat manusia.

Penilaian yang disampaikan Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Fajar Timur Jayapura itu agaknya merujuk pernyataan Pater John yang dikenal dekat dengan pers.

Suatu kali Pater John berkata, "Jangan membuat luka Papua semakin menganga dengan mengabaikan harkat dan kemanusiaan orang Papua. Harkat dan kemanusiaan di atas segala-galanya, bukan dari warna kulit dan rambut lurus atau keriting."

Kedekatan Pater John dengan warga Papua di pelosok, bukan hanya sebuah cerita fiktif, apalagi untuk mencari sensasi. Ia memang dekat dengan umatnya, sebagaimana pernah disaksikan oleh ANTARA dalam suatu perjalanan dengan Pater John di areal transmigrasi di Kabupaten Keerom.

Dalam perjalanan itu, dua tiga pemuda yang sedang mabuk minuman keras menghalangi mobil yang mereka tumpangi. Para pemuda itu tidak melihat Pater John yang duduk di depan mobil, karena gelap gulita di tengah perkebunan kelapa sawit pada malam hari, namun teriakan Pater John sempat didengar, sehingga pemuda itu meminta maaf dan mereka akhirnya diantar Pater John ke tempat tujuan. (*)

Oleh
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2010