Hongkong (ANTARA News) - Penelitian terhadap korban selamat bom atom di Jepang yang dilakukan selama 53 tahun memperlihatkan bukti bahwa mereka memiliki risiko tinggi terhadap penyakit stroke dan jantung akibat pancaran radiasi.

British Medical Journal yang dikutip Reuters mempublikasikan bahwa penelitian tersebut melibatkan 86.611 korban yang selamat dari bom Hiroshima dan Nagasaki pada 1945, yang memaksa Jepang menyerah kepada Sekutu dan menandai berakhirnya perang dunia (PD) II.

Para peneliti mencatat, setiap korban bom atom terkena radiasi dalam dosis antara 0 dan 4 Gy (Gray) pada saat musibah terjadi.

Gray merupakan satuan untuk menghitung radiasi yang terserap menggunakan peralatan khusus yang disebut dosimeter, dan jumlahnya bermacam-macam pada tiap orang, tergantung pada lokasi dan perlindungan pada saat pengeboman terjadi.

"Penelitian ini memberi bukti terkuat bahwa radiasi dapat meningkatkan stroke dan penyakit jantung dosis yang cukup (terutama 0.5-2 Gy), walau hasil dibawah 0.5 Gy tidak berarti secara statistik," kata peneliti di Jepang.

Ia mengemukakan pula, "Penelitian lebih jauh harus memberi perkiraan yang tepat mengenai resiko pada dosis rendah."

Menurut peneliti, hal itu merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, sebab meningkatnya penggunaan bermacam-macam alat pemindai jenis Computed Tomography (CT) scan dan prosedur pengobatan berdosis tinggi.

Pengobatan yang menggunakan radiasi biasanya diukur dalam milligray (mGy). Rata-rata dosis radiasi dari x-ray perut adalah 1.4 mGy (0.0014 Gy), sedangkan dari CT scan perut adalah 8.0 mGy (0.008 Gy), dan dari CT scan panggul adalah 25 mGy (0.025 Gy).

Penelitian dipimpin oleh Yukiko Shimizu dari Radiation Research Effects Research Foundation di Jepang, peneliti memantau korban selamat dari tahun 1950 sampai 2003 dan menemukan bahwa 9.600 orang meninggal karena stroke dan 8.400 orang meninggal karena penyakit jantung.

Peneliti menemukan risiko tinggi stroke dan penyakit jantung pada dosis kira-kira 0.5 Gy, dan kondisi tersebut akan muncul pada dosis yang lebih tinggi.

Menurut para peneliti, akibat dari dosis rendah tidak jelas dan mereka berharap penelitian yang akan datang dapat menemukannya. (*)

Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010