Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan belum berencana memeriksa direksi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dalam kasus pembobolan uang BRI Syariah Banten senilai Rp226 miliar.

"Belum ada rencana pemeriksaan direksi BRI," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, di Jakarta, Rabu.

Kejagung sendiri telah menetapkan lima tersangka, yakni, Asri Uliya, mantan pimpinan Cabang BRI Syariah Serang, Banten, yang saat ini menjabat sebagai Senior Staf pada Divisi Kredit Retail Kantor Pusat BRI, dan Amir Abdullah (Direktur Utama PT Nagari Jaya Sentosa (NJS)).

Serta Muhammad Sugirus (Direktur PT Javana Artha Buana, Komisaris Utama PT NJS), dan Dedih Wijaya (Karyawan BRI Cilegon).

Dari lima tersangka itu, empat diantaranya sudah diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Serang, Banten. Setelah itu giliran Deni Kurniawan yang bertindak mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat pengajuan kredit pada BRI.

Sementara itu, LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyesalkan sikap Kejagung yang "tebang pilih" dalam penanganan kasus pembobolan BRI tersebut.

"Seharusnya direksi BRI menjadi tersangka dalam kasus itu, karena pengeluaran uang Rp226 miliar tidak mungkin dilakukan oleh kantor cabang namun oleh tingkat pusat," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.

Ia mengatakan kantor cabang itu paling berwenang dalam pencairan uang antara Rp500 juta sampai Rp1 miliar.

"Tidak mungkin mempunyai wewenang sampai ratusan miliar seperti itu," katanya.

Kasus bermula pada 2006-2007 ketika BRI Kantor Cabang Syariah Serang mengadakan kerjasama (PKS) dengan PT NJS dan PT Javana Artha Buana (JAB) untuk pemberian fasilitas pembiayaan kredit kepemilikan kios pada Plaza Nagari Minang, Pasar Baru Bantar Gebang, dan rumah tinggal di Cilandak Town House, Jakarta Selatan.

Ketiga gedung itu dibangun oleh kedua perusahaan tersebut untuk selanjutnya dijual kepada BRI.

Dalam perjanjian kerja sama disebutkan PT NJS dan PT JAB, berkewajiban untuk mencari calon nasabah yang akan mendapatkan pembiayaan kepemilikan kios dan rumah tinggal.

"PT NJS dan JAB juga bertindak sebagai penjamin (avalis) atas pembiayaan yang akan diberikan oleh Bank BRI dengan sistem Murabahah (pembiayaan dengan sistem jual beli)," kata Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus Kejagung, Arminsyah.

Arminsyah menyebutkan bahwa faktanya sebanyak 438 calon nasabah yang "diajukan" oleh PT NJS dan PT JAB, tidak pernah mengajukan permohonan pembiayaan.

"Namun dengan dalih berlibur ke Anyer, mereka diminta untuk menyerahkan foto copy identitas, kemudian menandatangani permohonan pembiayaan ke kantor BRI Syariah Serang dengan imbalan uang antara Rp50 ribu sampai Rp150 ribu," katanya.

Nasabah juga, kata dia, diminta membuat surat pernyataan peminjaman nama dan data kepada PT NJS untuk akad kredit pembiayaan tersebut.

BRI Syariah sendiri langsung memproses permohonan pembiayaan tersebut, dengan menggunakan data yang diduga fiktif calon nasabah sebanyak 438 orang dengan total pokok pembiayaan sebesar Rp226 miliar.

"Faktanya dana yang diajukan itu tidak sesuai dengan perjanjian kerja sama antara PT NJS dan PT Javana Artha Buana (JAB) dengan BRI," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010