Jakarta (ANTARA News) - Benarkah iklim investasi di Indonesia makin kondusif? Pernyataan ini patut ditanggapi secara realistis dan wajar ataupun profesional tidak hanya oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat tapi juga oleh BKPMD maupun kedutaan/perwakilan RI di luar negeri.

Ini lantaran secara realistis tantangan, peluang dan persaingan makin tajam untuk mampu mewujudkan masuknya penanaman modal asing (PMA).

Tantangan yang senantiasa harus dihadapi Indonesia, termasuk pasca-100 hari kinerja awal Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), adalah mutu lembaga ekonomi yang memfasilitasi perubahan cepat dan secara luas menyebarkan maslahat budaya produktivitas.

Masih cukup banyak masalah dalam perjanjian perjanjian dengan negara lain dihadapi baik secara bilateral, sebut, JIEPA (Japan Indonesia Economic Partnership Agreement) yang usulan oleh pihak Jepang sejak 2003, namun baru ditandatangani 20 Agustus 2007 dan diratifikasi pada Juli 2008 untuk implementasinya.

Selain itu, perjanjian pasar bebas negara perhimpunan Asia Tenggara dangan China (ASEAN China Free Trade Agreement/ACFTA) efektif mulai 1 Januari 2010, yang proses sampai disepakatinya perjanjian sudah sejak 2001.

Dengan melibatkan para pengusaha secara riil dengan matangnya rencana dan program, termasuk pemuktahiran sarana hubungan masyarakat (public relation), perlu kerja tim (team work) dan jaringan kerja (networking) digarap dalam arti dengan berbagai jalan pintas waktu dari awal

sampai hari penentuan penerapannya memerlukan serangkaian kejelasan informasi, seperti tax holidays yang jelas (ada atau tidak), pengurusan izin, dan pendayagunaan teknologi informasi, terutama fasilitas Internet.

Dengan pengamatan yang tumbuh di Asia Timur, maka semua pihak harusnya perlu pemahaman bahwa sejak awal 1990an telah muncul paradigma bahwa industrialisasi berorientasi ekspor merupakan strategi yang lebih baik dan bukan ekspor bahan baku dan bukan substitusi impor.

Memang strategi orientasi ekspor oleh pendekar ekonom dan pembuat kebijakan ekonomi pembangunan awalnya dianggap tidaklah masuk akal (unthinkable). Tahapan dan jenis kebijakan industrialisasi yang diperkenalkan klasifikasinya sebagai berikut :

  1. Substitusi impor tahap pertama (Import Substitution 1/ IS 1), dengan memproduksi barang konsumsi; menerapkan aturan proteksi untuk mengembangkan industri yang tengah tumbuh,
  2. Substitusi impor tahap kedua (Import substitution 2/ IS2), dengan memproduksi barang berharga dan menjadi acuan konsumen,
  3. Orientasi ekspor tahap pertama (Export Orientation 1/ EO1), dengan memproduksi barang berorientasi padat karya untuk kepentingan perusahaan penghasil barang skala ringan,
  4. Orientasi ekspor tahap kedua (Export Orientation 2/ EO 2) sekaligus orientasi ekspor yang kompleks (Export Orientation 2 Complex/ EO2- complex), dengan memproduksi barang bermuatan teknologi/modal/industri berbasis pengetahuan intensif, mengembangkan industri jasa - terutama finansial, dan restrukturisasi teknologi yang berjalan.

Keempat hal tersebut secara terinci dicatat Edward K.Y. Chen (1988) dalam “The economics and Non Economics of Asia’s Four Little Dragons”, di University of Hongkong, kemudian ia memantapkannya pada 1997 dalam "The Asia Model of Economic Development: Policy Implication for the 21st Century “Institute of Developing Economies’ Tokyo, Japan).

Salah satu wanti-wantinya Chen adalah mengenai perdagangan international, dan khususnya pergerakan faktor (factor movements) yang tergantung pada apa yang disebutnya piranti keras dan piranti lunak berkaitan isu internasional. Sisi piranti keras, termasuk infrastruktur transportasi dan komunikasi yang diperlukan untuk koordinasi kegiatan produksi maupun perdagangan.

Bagi Indonesia wanti-wanti Chen agaknya tidaklah mungkin diwujudkan dengan melakukan “lompatan tanpa mengalami pertumbuhan berkesinambungan”. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi serangkaian kebijakan yang tepat sebagai kondisi/syarat yang penting bagi keberhasilan proses pembangunan ekonomi.

Kondisi yang pernting adalah suatu kerangka kerja institusional yang mendorong berbagai kebijakan tersebut dengan menyadari sejumlah faktor institusional, seperti budaya, terutama budaya politik.

Selain itu, berbagai kalangan di negeri ini perlu menelaah Keterkaitan antara perdagangan dan investasi dalam tingkatan ekonomi mikro (microeconomic level) secara cermat dalam menarik investor dalam arti dampak penciptaan perdagangan yang digerakkan oleh adanya investasi.

Sifat dan bentuk jaringan kerja antar-perusahaan yang merupakan muara dari investasi makin berkembang: awal mulanya "parent-subsidiary" secara vertikal yang merupakan sifat dan bentuk diminati.

Kemudian dalam perkembangan dengan pengalaman yang saling mendukung menjadi tidak terlalu bersifat menjadi inter-affliliate dengan otonomi yang makin besar oleh perusahaan perusahaan tergolong subsidiaries.

Di pihak Pemerintah, BKPM dan instansi terkait dan daerah yang mendukung BKPM perlu terus berupaya meningkatkan langkah stratetgis mengembangkan investasi dengan Undang Undang Penanaman Modal yang baru berlaku.

Sebagai negara hukum, maka perangkat aturan yang tertuang dalam bentuk undang undang menjadi prasyarat mutlak. Dalam dunia investasi kepastian hukum yang tidak mudah ditafsirkan oleh pejabat secara sepihak harus menjadi acuan.

Beberapa negara tetangga layaknya Malaysia, Thailand dan Vietnam sangat gencar menarik calon investor, antara lain secara tegas memberi insentif pajak, efisiensi waktu pengurusan izin tinggal manajemen dari negara asal investor menjadi nilai plus yang menarik bagi para investor.

Secara umum peluang investasi untuk penanam modal asing di Indonesia sangat banyak. Namun, tidak berarti semua bidang bisa dimasuki investor asing. Ada beberapa bidang usaha yang masih tertutup bagi mereka. Pertimbangannya, pemerintah bermaksud melindungi pelaku logal untuk bidang bidang tertentu.

Setiap investor yang berminat memasukkan dananya perlu memahami rambu-rambu. Jadi masih adanya DNI (Daftar Negatif Investasi) yang dapat diperoleh di BKPM.

Sumber daya alam di Indonesia masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-negara sesama ASEAN dalam posisi sumber daya alam dan sumber daya manusianya. Padahal, penyelenggara negara semestinya dapat menarik manfaat dari kesiapan peningkatan mutu infrastruktur, manusia, pengetahuan, dan fisik.

Namun, dewasa ini kesiapan itu masih belum memenuhi kebutuhan akan mutu profesionalisme dan good public governance dalam pelayanan investasi dengan memegang teguh peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Penanaman Modal.

Mobilitas modal dan teknologi secara dramatis menguubah cara berbagai negara memasuki alur sistem produksi global. Bagi negara berkembang maupun maju perubahan perubahan demikian membawa risiko maupun peluang.

Bagi Indonesia sebagai negara berkembang terbuka peluang untuk berperan serta dalam produksi regional dan internasional dengan meningkatkan kesempatan kerja dan daya beli masyarakat. Tapi, resikopun dapat muncul dari kelemahan kebijakan dan arah gejala ekonomi kawasan regional.

Lingkungan pasaran terus melaju memacu inovasi, spesialisasi dan diferensiasi produk. Di sini dibutuhkan lingkungan baru dalam arti fleksibilitas kebijakan ekonomi atas dasar sama-sama menang (win-win) yang wajar. Siapkah pihak bea cukai dengan single window pelayanan terutama profesionalisme pejabat di daerah dalam tugas dan tanggung jawab menjadi peran kelancaran di pabean?

Investasi diharapkan tidak menjadi sarana tersembunyi yang dipergunakan pelaku perdagangan untuk memperkuat hak hak istimewa dan aset/kekayaan yang telah diterima oleh pihak investor.

Karena itu, perlu kecermatan dalam negosiasi implementasinya terutama di daerah potensial seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang tengah direncanakan realisasinya oleh Indonesia di berbagai daerah.

Di satu sisi keahlian para perunding kepentingan Indonesia dengan dukungan tim ahli dalam merumuskan perjanjian berikut syaratnya kompetensi profesional para eselon menengah (middle management) di Pusat maupun perwakilan (kedutaan) dan daerah sebagai praktik yang berproses merupakan tantangan tersendiri dalam mewujudkan one stop service di negeri ini. Ini pula tantangan riilnya. (*)

*) Bob Widyahartono M.A (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi Asia Timur; lektor kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) di Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010