Jakarta (ANTARANews) - Kelainan fungsi hati atau sirosis billier" (saluran empedu tidak terbentuk), yang dialami Bilqis Anindya Passa (17 bulan), juga dialami seorang balita di Kabupaten Trenggalek.

Ramdan Aldil Saputra (3) yang menderita kelainan fungsi hati, membuat keceriaan masa kanak-kanak bocah asal Desa Gandusari, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, itu ini nyaris terenggut.

Masa depan Ramdan kini bergantung pada hasil donor hati sang ibu yang rencananya akan ditransplantasikan oleh tim medis RSUD dr Soetomo, Surabaya, Maret.

Tubuh Ramdan kecil, tinggi hanya setengah meter lebih sedikit. Secara fisik, anak ketiga dari pasangan Sutondo Winarto (52) dan Sulistyowati (43) itu tampak tidak memiliki masalah kesehatan. Wajahnya juga tampak bugar dengan sorot mata tajam.

Kelainan pada tubuh Ramdan baru terlihat saat balita kelahiran 27 September 2006 itu diturunkan dari kain gendongan yang selempangkan ke tubuh ibunya.

Perut Ramdan yang terbungkus kaus biru garis-garis tampak lebih besar dari seharusnya; tidak seimbang dengan ukuran kakinya yang kecil.

Akibat hal itu, Ramdan sampai belum bisa berjalan. Dia hanya bisa merayap ketika sang ibu menaruhnya di lantai rumah.

Pada usianya yang sudah mendekati empat tahun, Ramdan juga belum bisa bicara. Hanya suara lenguhan dan sesekali rengekan yang keluar dari mulutnya.

Menurut keterangan Sutondo Winarto, ayahnya, anak bungsunya itu divonis dokter menderita kelainan fungsi hati atau yang dalam dunia kedokteran lebih dikenal dengan istilah "sirosis billier".

Karena kelainan fungsi hati yang diderita sejak lahir itu pula, perkembangan kesehatan Ramdan tidak pernah stabil.

"Seringkali kondisi kesehatan tiba-tiba drop. Kalau sudah begitu biasanya Ramdan menjadi rewel, warna kulitnya menjadi pucat, bola matanya kekuningan," tutur Winarto sembari menghela nafas panjang.

Jika sudah terlihat gejala sakit seperti itu, Winarto dan istrinya cepat-cepat membawanya ke rumah sakit.

Dulu hanya ke dokter anak atau rumah sakit terdekat yang memiliki dokter spesialis anak seperti RSUD dr Iskak di Tulungagung atau RS Baptis di Kediri.

Tetapi belakangan ini, mereka memilih RS dr Soetomo di Surabaya karena fasilitas dan kualitas penangannya dianggap lebih baik.

"Berapa pun biayanya tidak masalah, yang penting anak kami bisa sembuh dulu," kata Winarto maupun Sulistyowati yang sama-sama guru tersebut.

Limpa
Menurut Winarto, sakit Ramdan sudah teridentifikasi sejak lama. Tepatnya sejak anak bungsu dari tiga bersaudara ini baru berusia dua bulan.

Waktu itu, Sulityowati, yang sehari-hari mengajar sebagai staf pengajar di SD Gandusari 1, mendapati Ramdan demam mendadak. Suhu tubuh Ramdan naik drastis, bola mata dan kulit tubuhnya berwarna kekuningan.

Dalam kondisi panik, Ramdan yang dilahirkan melalui operasi karena ketuban yang ada dalam kandungan sang ibu pecah lebih awal itu, dibawa ke dokter anak di RSUD dr Soedomo di Trenggalek untuk mendapat perawatan.

Namun karena tidak kunjung membaik, Ramdan dirujuk ke RSUD dr Iskak di Tulungagung. Tetap saja tidak banyak perubahan.

Sang ibu yang sudah sangat khawatir dengan kondisi anak tercintanya itu, lalu membujuk sang suami untuk membawa Ramdan ke RS Baptis di Kediri. Harapannya tentu supaya Ramdan bisa mendapat penanganan lebih baik dengan fasilitas lebih lengkap.

Namun apa daya, meski hampir empat bulan menjalani perawatan di rumah sakit itu dan telah ditangani oleh dokter spesialis anak berpengalaman, kondisi Ramdan saat itu tetap tak kunjung membaik.

Jenis penyakit apa sebenarnya yang diderita Ramdan, bahkan belum mereka ketahui ketika itu.

Dokter anak di Tulungagung maupun di RS Baptis waktu itu mendiagnosa bahwa anak itu diduga menderita penyakit hepatitis.

"Kami baru tahu Ramdan menderita kelainan fungsi hati saat usianya tujuh bulan, itupun setelah membawanya ke RSUD dr Soetomo di Surabaya melalui serangkaian pemeriksaan sampel darah dan USG," ucapnya lirih.

Sejak itulah, Sulistyowati dan Winarto jadi tahu bahwa hidup anaknya benar-benar berada di ujung tanduk. Mereka tahu ancaman kematian bakal terus membayangi hidup sang anak lantaran kelainan fungsi hati telah berimbas pada kelainan pada organ lain, terutama limpa.

"Limpa anak kami dari waktu ke watu terus membesar, akibat terus menerus memakan sel darah merah yang terdistribusi dari organ hati Ramdan," kata Winarto mengutip penjelasan dokter anak di RSUD dr Soetomo yang selama ini menangani Ramdan.

Karena kondisi limpa yang terus membesar dan lama-kelamaan membuat kondisi kesehatan Ramdan semakin tidak stabil, dokter akhirnya menyarankan agar organ tersebut diangkat.

Sulistyowati sempat takut dengan rencana operasi itu, tetapi setelah dijelaskan oleh dokter bahwa organ limpa Ramdan sudah tidak berfungsi dan justru beresiko mengancam keselamatan anaknya, ibu berparas cantik itu pun menyatakan setuju.

Akan tetapi, masalah ternyata tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah operasi pengangkatan limpa, dokter memvonis bahwa organ hati milik Ramdan sudah mengalami gejala pengerasan.

"Menurut dokter hal itu terjadi karena saluran darah menuju limpa tersumbat. Hal itu menyebabkan distribusi darah tidak bisa mengalir normal dan terjadilah penumpukan sel darah merah di organ hati, sehingga mengeras dan muncul bercak kehitaman," papar Winarto menjelaskan.

Karena sudah rusak inilah, kemudian dr Purwadi, dokter bedah anak yang menangani Ramdan, merekomendasikan transplantasi liver pada Ramdan. Yakni dengan mencangkokkan bagian dari liver orang lain kepada Ramdan.

Masalahnya, biaya untuk melakukan transplantasi liver atau hati yang rencananya akan dilakukan oleh delapan dokter spesialis, termasuk dokter ahli transplantasi liver dari China itu tidaklah sedikit.

Perlu biaya minimal Rp1 miliar, dan itu tidak mungkin bisa ditanggung oleh Winarto yang selama ini hanya mengandalkan uang pinjaman serta keringanan biaya yang diberikan asuransi kesehatan (askes).

"Dokter bilang kami tidak perlu pusing memikir biaya untuk operasi transplantasi Ramdan, semuanya ditanggung tim dokter. Itu membuat kami lega dan lebih tenang," kata Sulityowati.

Dengan harapan sakit Ramdan bisa disembuhkan, baik Winarto maupun Sulityowati lalu mengikuti serangkaian pemeriksaan kesehatan dan observasi medis.

Hasilnya, dokter menyatakan hati Sulityowati yang paling memungkinkan untuk ditransplantasikan ke tubuh Ramdan.

Rekomendasi itu langsung dia setujui. Meski agak bingung dengan resiko jika salah satu levernya diambil untuk ditransplantasikan ke tubuh Ramdan, ibu berusia 42 tahun ini akhirnya hanya bisa pasrah.

Dirinya semakin tenang setelah dokter memberi penjelasan panjang lebar bahwa pengambilan salah satu organ hati tidak akan berpengaruh pada kondisi fisik pendonor.

"Kata dokter, organ hati atau liver yang diambil pada jangka waktu tertentu akan tumbuh kembali. Lagi pula kegunaan liver pada tubuh pada manusia tidak ada yang maksimal. Katanya hanya seperempat dari seluruh bagian liver yang kita miliki yang digunakan oleh tubuh normal," tutur Sulityowati.

Dengan dasar keyakinan itulah, istri guru bimbingan konseling di SMP Negeri 1 Tugu tersebut, kini mencoba mempersiapkan mental dan fisik semaksimal mungkin.

Rencananya, proses transplantasi liver dari tubuhnya ke tubuh Ramdan akan dilakukan pada bulan Maretg. Tetapi jadwal pastinya, baik Sulityowati maupun Bambang Sutondo Winarto mengaku tidak tahu.

"Nanti dokter akan memberitahukan jadwalnya. Mungkin karena harus menyesuaikan jadwalnya dengan tim dokter, termasuk dokter ahli yang berasal dari Tiongkok," katanya. (C004/B/A038)

Pewarta: oleh Chandra Hn Ichwani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010