Semarang (ANTARA News) - Pengamat hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, Wijaya, menilai, majelis hakim terkesan ragu-ragu saat menjatuhkan vonis kepada Antasari Azhar dalam sidang kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen.

"Kalau majelis hakim ragu-ragu dalam menjatuhkan vonis seharusnya terdakwa dibebaskan," katanya di Semarang, Jumat.

Ia menjelaskan, pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam memutuskan kasus tersebut sangat dangkal dan tidak memperhatikan dalil-dalil yang diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) dan pengacara terdakwa.

Kekecewaan baik pihak terdakwa maupun JPU setelah mengetahui vonis, katanya, merupakan konsekuensi logis atas putusan hakim yang ragu tersebut.

"Wajar saja mereka kecewa dan jika terdapat keraguan dalam menjatuhkan vonis, seharusnya terdakwa dibebaskan. Secara hukum, hal itu disebut `Indubium Provero`," katanya.

Ia menjelaskan, hal terpenting dalam peradilan pidana adalah kebenaran materiil sedangkan dalam kasus Antasari itu, pembuktian materiil jaksa masih lemah.

"Kalau terdakwa dinyatakan terlibat kasus pembunuhan sebagai salah satu aktor intelektual, hal itu juga harus dicari keterlibatan orang lain termasuk kelengkapan alat bukti yang diajukan seperti rekaman," katanya.

Ia mengemukakan, seharusnya hakim benar-benar berpegang kepada pertanggungjawaban atas putusan yang diambilnya.

"Lebih baik membebaskan satu orang yang bersalah daripada menghukum beberapa orang yang tidak bersalah sama sekali," katanya.

Terdakwa Antasari Azhar divonis 18 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan JPU yang diketuai Cirrus Sinaga yakni hukuman mati, sebelumnya JPU menjerat terdakwa dengan Pasal KUHP 55 ayat 1 ke 1 Junto Pasal 55 ayat 1 ke 2 Junto Pasal 340.

Antasari langsung menyatakan banding usai pembacaan vonis itu di PN Jakarta Selatan, Kamis (11/2) sedangkan JPU akan menggunakan waktu yang diberikan majelis hakim untuk pikir-pikir.
(U.PK-WSN/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010