Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh Mahfud MD mengatakan, terdapat dua kebijakan radikal yang bisa digunakan untuk mengatasi persoalan korupsi yang telah lama membelit Indonesia.

"Ada dua kebijakan radikal yang bisa ditawarkan," kata Mahfud di Jakarta, Kamis.

Ia memaparkan, kebijakan pertama adalah melakukan "amputasi" atau memberhentikan dengan sebuah undang-undang (UU) semua pejabat dan aparat penegak hukum yang pada akhir era Orde Baru telah menduduki jabatan, pangkat, dan umur tertentu.

Setelah itu, lanjutnya, pemerintah segera mengangkat pejabat-pejabat baru yang bersih dan berani untuk menyelesaikan kasus korupsi secepatnya.

"Di sebagian negara kawasan Amerika Latin, kebijakan itu berhasil menurunkan indeks korupsi secara signifikan," kata Ketua MK.

Ia juga mengemukakan, kebijakan kedua adalah "pemutihan" yang dilakukan bila kebijakan "amputasi" tidak bisa dilakukan.

Dengan kebijakan "pemutihan", ujar dia, semua kasus korupsi peninggalan masa lalu diampuni sehingga tidak lagi perlu proses hukum.

"Tentu saja, pengampunan ini disertai syarat-syarat tertentu, termasuk kemungkinan pengembalian kekayaan negara tanpa dipersoalkan aspek pidananya," katanya.

Namun yang paling penting, menurut Mahfud, adalah pascapengampunan tersebut, setiap tindak pidana korupsi diproses secara cepat dengan ancaman hukuman berat termasuk eksekusi mati di depan publik.

Ia menuturkan, tindakan yang dilakukan China dengan menghukum mati atau memenjarakan ribuan pejabat akibat korupsi ternyata efektif menurunkan angka korupsi.

"Indonesia bisa hancur karena korupsi. Korupsi subur karena peradilan korup, dan dunia peradilan sulit dibersihkan tanpa cara yang luar biasa," katanya.

Karena itu, menurut dia, tanpa adanya upaya radikal maka bisa dipastikan bahwa keberhasilan untuk mengatasi korupsi tak akan tercapai.(T.M040/R009 )

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010