Surabaya (ANTARA News) - Serikat Buruh Migran (SBMI) Jawa Timur merasa kecewa karena ST selaku Direktur Utama PT. SPJ, Jl. HRM. Mangundiprojo, Buduran, Sidoarjo yang mengerahkan enam TKI ke Macao justru bebas dari hukum dalam kasus "trafficking."

"Kami mengadukan kasus trafficking in person (perdagangan manusia) yang dialami enam TKI ke Unit PPA Polda dengan nomer LPB/238/ IV/2009/Biro Operasi tertanggal 24 April 2009," kata Ketua SBMI Jatim Moch. Cholily di Surabaya, Senin.

Namun, katanya, penyidik PPA yang ditunjuk yakni Habibah justru menetapkan orang lapangan sebagai tersangka dan menjadikan sebagai DPO (daftar pencarian orang).

"TS selaku Dirut PT. SPJ yang kami laporkan sebagai PPTKIS yang menerima, menampung, dan mengirim ke Macao jutsru tidak jelas status hukumnya atau bebas dari jerat hukum," katanya.

Setelah itu, katanya, SBMI Jatim mengadukan korban lainnya yang bukan enam korban itu ke PPA Polwiltabes Surabaya dan PPA Polwiltabes justru menetapkan Dirut PT. SPJ sebagai tersangka.

"Masalahnya, Habibah selaku penyidik PPA Polda Jatim justru menghubungi kawan-kawan korban agar berdamai dengan PT. SPJ dengan ganti rugi sebesar Rp25 juta per orang," katanya.

Hasilnya, korban dari Tulungagung bersedia menghadiri undangan Habibah ke Surabaya untuk "berdamai", sedangkan korban lain dari Banyuwangi dan Jember tetap konsisten.

"Karena itu, kami menyurati Polwiltabes Surabaya untuk mendesak mereka supaya melimpahkan kasus itu ke Kejari Surabaya guna segera disidangkan," katanya.

Surat itu ditembuskan kepada Kapolti, Kepala Divisi Propam Mabes Polri, Gugus Tugas Anti Trafiking di Jakarta, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kapolda Jatim, Direskrim Polda Jatim, dan Kabid Propam Polda Jatim.

Ke-enam korban yang mengadu ke Polwiltabes Surabaya adalah Lilik Jamiranti (Tulungagung), Yayuk Hafifah (Banyuwangi), Umi Roifatul Jannah (Jember), Imroatul Khasanah (Banyuwangi), Tumini (Banyuwangi), dan Muanisah Nurlaili (Banyuwangi).

Dalam catatan SBMI, 12 TKI yang kasusnya ditangani SBMI dipastikan menjadi korban "trafficking" di Macao dan dipekerjakan di panti pijat "plus" di Macao oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Sidoarjo milik ST.

"Awalnya, TKI itu dijanjikan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji yang tinggi dan dibekali dokumen kontrak kerja, namun sesampai di Macao justru sejumlah dokumen yang dibawa TKI bersangkutan dirampas oleh tekong di sana dan dimusnahkan, sehingga TKI tak berdaya," katanya.(Ant/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010