Jakarta (ANTARA News) - "Kita malah seneng Indonesia gak jadi tuan rumah, enak aja,...mau ngangkangin sepakbola indonesia sampe 2022," tulis Made. "...Direformasi totallllllllllllll," tulis Nawi

"Dasar..., masih cari kambing hitam aja. Berprestasi dulu baru nglamar jadi tuan rumah...contoh tuh Korsel, Jepang. Saya pikir masyarakat pecinta bola udah muak lihat tampang-tampang luu," tulis Mustiko.Kalimat-kalimatnya bernada lugas dan bernas.

Getir, itulah ekspresi yang ingin dituangkan dari ketiga pengirim surat elektronis yang dimuat dalam Kompas.com. Dengan menggunakan bahasa yang menohok bak serangan balik dalam sebuah laga bola, ketiganya mewakili ambisi jutaan pecinta sepak bola nasional.

Bagaikan Godot yang memampatkan setangkup harapan berbalut ambisi- meminjam artikulasi sastrawan Inggris Samuel Beckett - kemenangan dan kejayaan tak juga bersua. Serta merta, telunjuk terarah kepada para pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Ada apa dengan PSSI?

Mengapa kesuksesan jadi barang mewah dan kebangkrutan datang bertubi-tubi? Bagaikan seni dalam pertempuran, sepakbola bersandar kepada ungkapan Latin: veni, vidi, vici (saya datang, saya lihat, saya menang). Ingat bahwa, animo penonton berjuluk "bobotoh" (Persib), bonek (Persebaya), Jakmania (Persija). Ruaaarrr...biasa!

Kegagalan demi kegagalan menghentikan ambisi prestasi sepak bola nasional. Yang hangat, Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional atau FIFA mencoret keikutsertaan Indonesia sebagai peserta `bidding` Piala Dunia 2022 karena dianggap tidak memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan.

Yang memilukan, Indonesia tidak akan mengirimkan atlet cabang sepak bola ke Asian Games (AG) XVI di Guangzhou, China, 12-27 November 2010. Alasanya, prestasi sepak bola nasional mengecewakan pada SEA Games XXV/2009 di Laos. Dua laga SEA Games terakhir, Indonesia terhenti di babak penyisihan.

Yang memalukan, Indonesia mengalami kekalahan dari Laos, 0-2. Untuk kali pertama dalam 14 tahun terakhir, timnas Indonesia tinggal gigit jari untuk tampil di Piala Asia. Dalam peringkat FIFA terbaru per 3 Februari 2009, posisi Indonesia terjungkal dari peringkat ke-120 (Desember 2009) menjadi peringkat ke-136, jauh di bawah negara-negara Asia Tenggara lain, seperti Singapura (peringkat ke-120), Vietnam (ke-116), dan Thailand (ke-98).

Secara terang benderang, ini peringkat terburuk Indonesia setelah Juni 2009 terpuruk di rangking 138 dunia. PSSI juga dianggap tak berdaya menangani berbagai macam kisruh seperti dugaan suap, kerusuhan antarsuporter, dan kompetisi yang kurang mengindahkan profesionalitas dan mengabaikan sportivitas.

Yang mengecilkan hati, kekalahan Persipura kekalahan Persipura Jayapura, 0-9, dari Changchun (China) di Liga Champions Asia, Selasa (9/3). Yang terakhir, tim Merah Putih meggantung ambisi untuk melaju ke putaran final Piala Asia 2011, sementara timnas U-23 gagal di SEA Games.

Ambisi tinggal ambisi. Pengelolaan roda kompetisi terkesan pas-pasan, yang ditandai dengan mencuatnya kasus suap hingga kerusuhan yang melibatkan pemain, ofisial, dan suporter.

Kali terakhir, Supar (30), suporter Persik Kediri dari Desa Bangsongan, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri, tewas saat menyaksikan pertandingan Persik menjamu Persib Bandung di Stadion Brawijaya, Kediri, Selasa (9/2).

Terusik oleh paceklik prestasi sepak bola nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa prihatin. Ia meminta kepada pers KONI agar menyelenggarakan kongres sepak bola. Belakangan istilah kongres diubah menjadi sarasehan sepak bola.

Setubuh dengan keprihatinan itu, sejumlah kalangan menilai, Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) yang akan dihelat di Malang tanggal 30 sampai 31 Maret 2010 merupakan agenda untuk melengserkan tampuk kepemimpinan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid melalui Kongres Luar Biasa.

Komentar demi komentar berdatangan setelah menyaksikan litani kegagalan PSSI. "Sepak bola tidak diberangkatkan karena prestasinya terus menurun. Di tingkat Asia Tenggara saja tidak becus. Apalagi di tingkat Asian Games. Sepak bola Indonesia itu masih satu level dengan kabupaten," kata Komandan Pelatnas Komite olahraga Nasional Indonesia (KONI), Hendardji Soepandji di sela lokakarya Asian Games di kantor KONI, Jakarta.

"PSSI seharusnya malu dengan buruknya prestasi Indonesia," kata salah satu anggota Gerakan Reformasi PSSI Indonesia, Emerson. "Pemerintah harus bertanggung jawab dan melakukan tindakan luar biasa jika Ketua PSSI tidak mundur. Suporter dan masyarakat juga harus mendorong percepatan KLB," katanya.

Pernyataan senada dilayangkan anggota DPR Komisi X, Dedi "Miing" Gumelar. Menurut dia, Nurdin Halid tidak layak lagi menjadi ketua. "Apa seseorang yang dipenjara bisa bertanggungjawab?" kata Miing.

Ia berpendapat KSN merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan. "KSN merupakan momentum perubahan. Tidak apa-apa jika akhirnya FIFA menghukum PSSI sehingga kita bisa berkancah di laga internasional. Toh, kita juga tak bisa berprestasi. Dengan cara ini kita bisa membenahi sepak bola Indonesia sehingga 10 atau 15 tahun lagi bisa berprestasi," tegasnya.

Nah, bagaimana "membaca" kegalauan hati publik pecinta sepak bola nasional akan prestasi PSSI? Jawabnya, ada defisit ambisi di tubuh PSSI.

Kalau ambisi termasuk salah satu motivasi paling kuat serentak dahsyat bagi manusia, maka pernyataan sekaligus pertanyaan ikutannya bahwa ambisi hendaknya mendorong orang untuk berprestasi, dan tidak semata-mata terfokus pada wawasan "sang aku". Aksiomanya, ambisi dan tanggungjawab bagaikan dua sisi dari satu mata uang.

Yang sulit, justru membedakan apakah ambisi seseorang mendorongnya untuk berprestasi bagi bangsanya, atau semata-mata untuk menghidupi bahkan menyuburkan egonya. Yang terakhir, adalah tanda karakter kurang mulia. Tetapi, bagaimana memastikan karakter seseorang?

Yang paling pertama perlu dituntut adalah kesediaan untuk bertanggungjawab. Filsuf Hans Jonas menggambarkan negarawan atau pemimpin sebagai orang yang memikul tanggungjawab tak terbatas, bersedia memikul tanggungjawab.

Implikasinya, petinggi PSSI di masa depan tidak harus paling hebat, tetapi ia harus jujur, berani, bersedia mengorbankan diri dan mampu belajar.

"Stultus es, qui facta infecta facere verbis postules" (engkau adalah seorang tolol apabila menuntut apa yang sudah terjadi bisa dihapuskan (hanya) dengan kata-kata), kata pujangga Latin Titus Maccius Plautus. (ANT/A024)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010