Jakarta (ANTARA News) - "UU (Undang-Undang) Pornografi akan memecah belah Indonesia daripada menyatukannya," kata Andy Yentriyani Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Komnas Perempuan menggelar konferensi pers yang digelar di markas mereka di jalan Latuharhary, Menteng Jakarta, Jumat.

Komnas Perempuan menyesalkan kesimpulan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan karenanya memutuskan untuk menolak pengujian UU itu.

Undang-Undang ini menimbulkan multi tafsir yang menimbulkan ketidakpastian hukum," kata Andy. Menurut dia, UU ini juga meletakkan perempuan dalam ketidakpastian hukum dan diskriminasi.

Komnas Perempuan berpendapat keputusan itu menjauhkan bangsa Indonesia dari pencapaian cita-citanya menjadi bangsa yang bersatu, adil dan makmur. UU ini jelas mempertaruhkan kewibawaan hukum demokrasi substantif dan keutuhan bangsa.

"Undang-Undang ini bersifat nasional, berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Tetapi, ada if clause-nya. Itu menimbulkan pengkotak-kotakan," kata Tumbu Saraswati anggota Komnas Perempuan.

Tumbu merujuk pada penyimpulan MK mengenai batasan suatu kegiatan tidak dianggap pornografi. Menurut MK sepanjang kegiatan yang menggambarkan ketelanjangan dilakukan sesuai dengan adat atau kebiasaan setempat dan tidak mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukkan atau di muka umum di luar daerah yang berbeda budaya dan adat istiadatnya.

Pendapat itu menyebabkan sejumlah masyarakat adat tertentu tidak dapat bebas bergerak, kecuali berganti pakaian saat memasuki wilayah lain. Cara berpakaian adalah bagian dari identitas diri dan budaya yang menjadi dasar bagi budaya nasional Indonesia.

"Undang-Undang ini nasional, jadi harus dapat diterima semua orang Indonesia," kata Tumbu.

Masruchah, Wakil Ketua Komnas Perempuan, memberi contoh perempuan yang menjadi korban dalam UU Pornografi itu dalam kasus pelarangan tari Jaipong karena dianggap porno.

"Perempuan penari yang berpakaian ketat dianggap pornografi,bagaimana jika laki-laki penarinya berpakaian ketat, apa Jaipong akn dilarang juga," kata Masruchah. Dia menilai pemerintah belum mampu membedakan seni dan pornografi.

Hasil pemantauan Komnas Perempuan mencatat di Bandung dan Karanganyar (dua wilayah yang sudah menerapkan UU Pornografi), perempuan korban eksploitasi seksual malah dijadikan terpidana pelaku pornografi.

"Asumsi dasar Undang-Undang adalah ketelanjangan perempuan. Korban berpotensi berubah menjadi pelaku pada suatu saat," kata Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan.

Kejadian di Bandung merujuk pada pelarangan tarian Jaipong karena gerakan tarian itu dianggap mengandung unsur pornografi. Sedangkan di Karanganyar adalah kasus video seks sepasang kekasih.

Komnas Perempuan berkomitmen untuk terus memantau pelaksanaan UU Pornografi. Komnas Perempuan juga mengajak masyarakat ikut memantau dan mencegah terjadinya kekerasan dan main hakim sendiri oleh "polisi moral" di dalam pelaksanaan UU itu. (ENY/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010