Palu (ANTARA News) - Tidak semua orang dapat secara gampang membuka usaha minuman olahan tanpa didukung pengetahuan yang memadai, apalagi jika ilmunya tak sesuai dengan bisnis yang sedang digeluti.

Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Irfan, mahasiswa penemu bubuk sarabba di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sarabba adalah minuman khas yang sudah mentradisi di kalangan masyarakat Palu.

Minuman dari racikan jahe, telur ayam, madu, dan gula ini telah diolah secara temurun oleh masyarakat di Sulawesi dan dipercaya memiliki khasiat untuk memulihkan stamina. Apalagi diminum selagi hangat, sesaat kemudian bisa keringatan.

Sarabba juga menjadi berkah bagi pelaku usaha kecil dan menengah. Ini dapat dilihat dengan menjamurnya usaha kaki lima di sepanjang pantai Talise dan Taman Ria Palu.

Untuk mencicipi Sarabba tidak susah. Anda cukup ke pantai Palu pada malam hari. Sabtu malam paling ramai. Ratusan pengunjung berjejal hingga jalanan kerap macet.

Di pantai itu berjejer ratusan pedagang Sarabba dengan gerobak dorongnya. Sebagai pelengkapnya, mereka juga menyajikan pisang goreng, pisang stik, pisang gepe, atau jagung bakar.

Makanan itu paling cocok dipadankan dengan sarabba, ibarat dua sisi mata uang yang sulit bisa dipisahkan. Makan jagung bakar atau pisang gepe saja, kurang sempurna rasanya jika tidak didorong dengan sarabba.

Sambil minum, pengunjung juga bisa menikmati suasana pantai, yang bergemerlap cahaya lampu di kaki gunung Palu, atau sekadar memandangi sorotan cahaya jembatan lengkung terpanjang pertama di Indonesia dan ketiga di dunia.

Tempat ini juga menjadi tempat rekreasi malam hari bagi masyarakat Palu.

Berangkat dari tingginya permintaan sarabba itulah, Irfan, seorang alumnus sekolah menengah ilmu kejuruan perkayuan terinspirasi membuat racikan sarabba dalam bentuk bubuk.

Selama ini untuk menikmati sarabba, orang harus memasak lebih dulu seluruh bahannya. Jahenya dimasak sendiri, begitu dengan gulanya.

Sarabba tradisional juga tidak tahan lama. Paling lama 24 jam sudah basi.

Penjual sarabba pun terpaksa harus menenteng termos agar sarabba tetap panas. Telurnya, biasanya dicampur setelah sarabba dituang ke dalam gelas, menyusul susu atau madunya.

Berkat temuan Irfan, sarabb" akhirnya menjadi minuman instan. Cukup membeli dalam bentuk kemasan, siap seduh. Bisa dibawah kemana-mana. Asal ketemu air panas, bisa langsung diseduh dalam gelas. Tidak perlu mengeluarkan energi untuk memarut jahe, meremas santan, ataupun memasak gula.

"Sarabba bubuk ini baru saya temukan setahun lalu, sekarang alhamdulillah pasarannya sudah masuk di 10 kabupaten/kota di Sulteng," kata Irfan, saat ditemui dalam Gebyar Expo Palu 2010, yang sedang berlangsung di Palu.

Menjaga stan pameran yang disiapkan Dinas Perindagkop dan UKM Palu, Irfan ditemani Jeklin, seorang perempuan muallaf yang kini menjadi pendamping hidupnya. Mereka sudah dikarunia seorang anak balita.

Di pameran itu, Irfan menyediakan tempat untuk pengunjung yang ingin mencicipi sarabba hasil kreativitasnya.

Irfan tamat dari SMIK Perkayuan di Lingkungan Bumi Roviga, Palu, tahun 2006. Pria ini lahir dari keluarga sederhana.

Saat ini ia sedang cuti kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Palu jurusan Manajemen Semester IV. Ia cuti karena ingin menghidupkan bisnis yang sedang ia geluti saat ini.

Irfan, awalnya meminta kepada ibunya cara membuat kopi jahe. Lama-lama, Irfan berpikir cara membuat "Sarabba". Ia ahirinya melakukan uji coba untuk membuat Sarabba dalam bentuk bubuk.

Ia terus memodifikasi racikannya hingga akhirnya diuji di laboratorium di Balai Pengawasan Obat dan Makanan sebagai syarat Departemen Kesehatan memberikan lesensi bahwa hasil olahannya memenuhi syarat untuk dikonsumsi.

Usahanya juga mendapat lisensi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan label halal.

"Saya hanya berpikir bagaimana dengan usaha ini, lapangan kerja terbuka, di tengah sulitnya orang mencari kerja," kata Irfan.

Untuk usaha sarabba bubuk ini, Irfan butuh bahan baku jahe. Ia sudah punya pasokan khusus dari beberapa daerah. Ia membeli jahe tidak jauh beda dengan harga eceran di pasar tradisional. Jika di pasar dijual Rp15.000/kilogram, Irfan membeli sedikit dibawah itu karena harga borongan.

"Sudah banyak petani jahe sekarang yang hidup setelah saya buka usaha ini," katanya.

Selain menghidupan petani, untuk memproses jahe agar bisa menjadi bubuk yang diracik dengan telur, madu dan gula, Irfan juga mempekerjakan satu orang khusus untuk mengupas jahe.

Setelah itu jahe dibawah ke tempat gilingan di pasar tradisional. Karena besarnya volume jahe yang harus dipabrik, sang pemilik pabrik kini sudah menyediakan satu khusus mesin gilingan untuk melayani permintaan Irfan.

"Dia kewalahan kalau hanya mengerjakan pesanan saya, belum lagi pesan yang lain," kata Irfan.

Untuk urusan mesin penghancur jahe ini, Irfan sudah pernah bermohon ke pemerintah Kota Palu, tapi hingga kini tak kunjung diberikan bantuan. Padahal harganya kurang dari Rp2 juta.

Bahan baku berikutnya adalah madu. Untuk yang satu ini, ia juga sudah punya langganan khusus petani lebah yang setiap saat siap memasok madu ke tempatnya. Urusan madu ini, Irfan sangat selektif karena jangan sampai madu yang dipasok bukan asli.

Kalau telur ayam kampung tidak masalah, karena banyak dijual di pasar tradisional.

"Yang jadi masalah kadang gula pasir. Saya butuh gula pasir halus yang putih, dan ini kadang habis di pasaran," katanya.

Mungkin sulit dipercaya. Tapi Irfan membuka usahanya itu hanya dengan modal Rp1 juta. Itupun pinjaman dari ibunya. Modal itulah dijadikan Irfan langkah awal membuka usaha ini.

"Pertama saya hanya jual di sekitar pantai Talise dan Taman Ria. Ternyata laku. Akhirnya saya kembangkan. Sekarang sudah masuk di swalayan dan mal," katanya.

Irfan mengaku kewalahan menerima pesanan terutama dari langganan tetapnya. Sementara itu, distributor tidak ingin kekosongan stok di tokonya. Urusan distribusi ini, ia juga memperkerjakan satu orang. Sarabba bubuk itu didistribusi hanya dengan sepeda motor.

"Kadang saya iri dengan distributor yang lain. Mereka parkir di depan toko pakai mobil box, sementara kami hanya dengan motor," ungkapnya.

Kemasan sarabba yang didistribusi ke swalayan juga merupakan karya sendiri. Irfan dibantu adiknya yang kebetulan mengerti desain grafis. Kendati hanya dengan modal satu unit komputer lengkap print, kemasan itu dicetak sendiri. Agar tahan lama, kemasannya dilaminating. Adiknya, kini juga menjadi salah satu karyawannya khusus bagian kemasan.

Paking lain lagi. Ini juga dikerjakan satu orang tenaga. Saat ini Irfan telah mempekerjakan sekitar 10 orang tenaga yang diambil dari keluarganya sendiri.

"Rencana mau pindah tempat karena rumah kontrakan yang ada saat ini kecil. Nanti kami butuh lagi satu karyawan bagian pembukuan," katanya.

Irfan bermimpi usahanya kelak bisa setenar minuman berenergi lainnya yang kini menyasar di hampir seluruh pasar di tanah air. Ia hanya berharap ada orang yang sudah memiliki uang banyak untuk membantu usahanya yang kini sedang tumbuh itu.

"Saya butuh mesin press untuk kemasan. Kalau ini sudah ada, Sarabba ini nanti sudah bisa digantung di kios-kios eceran," katanya.

Saat ini, Irfan hanya membuat produknya dalam dua kemasan, yakni dalam toples dan kemasan kotak. Ukurannya macam-macam mulai dari 350 gram hingga 500 gram. Kemasan 350 gram misalnya, dijual seharga Rp27.000.
(T.A055/T010/P003)

Oleh Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010