Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Pemilihan Umum di Myanmar yang diskriminatif, memberi perlakuan berbeda kepada kelas warga yang berbeda, dan ini berdampak pada kelompok minoritas muslim
Jakarta (ANTARA) - Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mendesak Pemerintah Myanmar untuk berhenti membatasi hak pilih kelompok minoritas, salah satunya komunitas muslim Rohingya di Rakhine, jelang pemilihan umum pada 8 November 2020.

Juru Bicara HAM PBB, Ravina Shamdasani, di Jenewa, Swiss, Selasa (27/10), mengatakan Pemerintah Myanmar membatasi komunitas muslim Rohingya dari hak pilih dan hak-hak mendasar sebagai warga negara.

"Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Pemilihan Umum di Myanmar yang diskriminatif, memberi perlakuan berbeda kepada kelas warga yang berbeda, dan ini berdampak pada kelompok minoritas muslim yang sebagian dari mereka tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara," kata Shamdasani saat jumpa pers, sebagaimana disiarkan di laman resmi PBB.

Menurut Shamdasani, satu dari sejumlah praktik pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah adalah penutupan akses Internet di delapan kota di Rakhine dan Chin. "Penutupan akses internet membatasi kemampuan warga setempat untuk mendapatkan informasi, baik mengenai COVID-19 dan informasi lain terkait pemilihan umum," terang dia.

Pernyataan sikap PBB itu disampaikan ke publik setelah Komisi Pemilu Myanmar pada 16 Oktober 2020 mengumumkan bahwa pemungutan suara tidak akan digelar di 56 kota, yang beberapa di antaranya berada di negara bagian Rakhine. Otoritas pemilu setempat tidak menjelaskan alasan di balik keputusan tersebut, meskipun kebijakan itu telah mencabut hak politik dan hak pilih sebagian masyarakat Myanmar.

"Pemutusan akses Internet berdampak pada masyarakat adat di Rakhine, Rohingya, Kaman, Mro, Daingnet, Khami, dan Chin," sebut Shamdasani.

Walaupun demikian, otoritas pemilu di Myanmar, sebagaimana dikutip dari Reuters pada 17 Oktober 2020, mengatakan pemilu tidak digelar di beberapa daerah tertentu karena area tersebut dianggap berbahaya dan tidak cukup aman.

Menurut pemerintah, salah satu penyebabnya adanya ancaman pemberontakan dari komunitas etnis bersenjata di puluhan kota tersebut. Partai Liga Nasional (NLD) untuk Demokrasi mengatakan tiga kandidat anggota legislatifnya diculik oleh kelompok etnis bersenjata saat mereka kampanye di Rakhine pada pertengahan bulan ini.

Tentara Arakan (AA), pada kesempatan berbeda, mengumumkan mereka menculik dua perempuan dan seorang pria saat ketiganya berkampanye di Rakhine jelang pemilu pada 8 November. Ketiga korban penculikan itu akan ditahan dan diinterogasi sampai jangka waktu tertentu, kata Tentara Arakan, melalui pernyataan tertulis yang disiarkan di Internet minggu lalu.

Pihak pemberontak mengatakan mereka bersedia membebaskan anggota partai NLD itu asalkan pemerintah membebaskan para pelajar dan "orang-orang tak bersalah" yang ditangkap oleh aparat keamanan setempat, kata AA sebagaimana dikutip dari Reuters pada 19 Oktober 2020.

Baca juga: Setengah TPS di Rakhine untuk pemilu Myanmar tak berfungsi

Baca juga: Sukarelawan di Myanmar tertekan saat jumlah korban COVID-19 meningkat

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Gusti Nur Cahya Aryani
Copyright © ANTARA 2020