Baghdad (ANTARA News/Reuters) - Pasukan keamanan Irak menangkap 13 tersangka dan menyalahkan kelompok militan Al-Qaeda, Rabu, atas pembunuhan 24 orang di sebuah desa dekat Baghdad pekan lalu.

Pembunuhan itu merupakan salah satu dari serangkaian serangan yang membuat Perdana Menteri Nuri al-Maliki segera meningkatkan pengamanan di ibukota Irak tersebut, sebulan setelah pemilihan umum parlemen yang diharapkan rakyat Irak akan menstabilkan negara mereka setelah tahun-tahun konflik sektarian.

Orang-orang yang memakai seragam militer menyerbu Albusaifi, sebuah desa Sunni sebelah selatan Baghdad, pada Jumat. Diantara mereka yang tewas adalah mantan anggota gerakan Kebangkitan, atau Putra Irak -- kelompok gerilya yang beralih pihak dengan melawan Al-Qaeda dan telah membantu mengubah peta perang.

"Itu insiden kriminal dan jelas bercirikan organisasi Al-Qaeda," kata Mayjen Ali al-Fraji, kepala keamanan militer di daerah sebelah selatan Baghdad, pada jumpa pers.

Kementerian Pertahanan Irak mengatakan, 16 orang terlibat dalam srangan di Albusaifi, semuanya anggota satu keluarga. Sebanyak 13 orang ditangkap, dan 10 orang telah mengaku, kata Fraji, namun ia tidak merinci tuduhannya.

Pemilihan umum pada 7 Maret tidak mengasilkan pemenang yang jelas dan bisa memperdalam perpecahan sektarian di Irak, yang menimbulkan kekhawatiran mengenai peningkatan kekerasan ketika para politikus berusaha berebut posisi dalam pemerintah koalisi yang baru.

Kekerasan turun secara dramatis di Irak sejak mencapai puncaknya antara 2005 dan 2007, namun serangan-serangan masih terus terjadi di Baghdad dan Mosul.

Hampir 400 orang tewas dan lebih dari 1.000 lain cedera tahun lalu dalam serangan-serangan bom terkoordinasi di sejumlah gedung pemerintah, termasuk kementerian-kementerian keuangan, luar negeri dan kehakiman pada Agustus, Oktober dan Desember.

Seorang jendral senior AS dalam wawancara dengan AFP beberapa waktu lalu memperingatkan, gerilyawan mungkin akan melancarkan serangan-serangan yang lebih mengejutkan seperti pemboman dahsyat di Baghdad pada 25 Oktober, menjelang pemilihan umum Maret.

Mayor Jendral John D. Johnson mengatakan bahwa meski situasi keamanan akan stabil pada pertengahan tahun ini, kekerasan bermotif politis yang bertujuan mempengaruhi bentuk pemerintah mendatang merupakan hal yang perlu dikhawatirkan.

Dua serangan bom bunuh diri menewaskan 153 orang di Baghdad pusat pada 25 Oktober.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Pemboman di Baghdad dan di dekat kota bergolak Mosul tampaknya bertujuan mengobarkan lagi kekerasan sektarian mematikan antara orang-orang Sunni dan Syiah yang membawa Irak ke ambang perang saudara.

Meski ada penurunan tingkat kekerasan secara keseluruhan, serangan-serangan terhadap pasukan keamanan dan warga sipil hingga kini masih terjadi di Kirkuk, Mosul dan Baghdad.

Banyak orang Irak juga khawatir serangan-serangan terhadap orang Syiah akan menyulut lagi kekerasan sektarian mematikan antara Sunni dan Syiah yang baru mereda dalam 18 bulan ini. Puluhan ribu orang tewas dalam kekerasan sejak invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003.

Jumlah korban tewas akibat kekerasan di Irak turun hingga sepertiga menjadi 275 pada Juli, bulan pertama pasukan Irak bertanggung jawab atas keamanan di daerah-daerah perkotaan sejak invasi pimpinan AS pada 2003.

Kekerasan menurun secara berarti di Irak dalam beberapa bulan ini, namun serangan-serangan meningkat menjelang penarikan militer AS, dan 437 orang Irak tewas pada Juni -- jumlah kematian tertinggi dalam kurun waktu 11 bulan.

Perdana Menteri Nuri al-Maliki memperingatkan pada Juni bahwa gerilyawan dan milisi mungkin meningkatkan serangan mereka dalam upaya merongrong kepercayaan masyarakat pada pasukan keamanan Irak. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010