Teheran (ANTARA News/Reuters) - Sebuah harian pro-reformasi terkenal Iran terbit lagi Minggu setelah larangan tiga tahun yang dianggap oleh para reformis sebagai upaya penguasa garis keras untuk membungkam pengecam Presiden Mahmoud Ahmadinejad.

Harian Sharq ditutup oleh Badan Pengawas Pers, yang berada di bawah Kementerian Bimbingan Islam dan Kebudayaan, pada 2007 karena menerbitkan wawancara dengan penyair "kontra-revolusi" di luar negeri.

"Surat kabar Sharq terbit lagi Minggu... Koran itu terutama akan memperhatikan permasalahan sosial dan budaya," kata surat kabar setengah resmi ILNA mengutip pemimpin redaksi harian itu Ahmad Gholami.

Para pengecam mengatakan, penutupan surat kabar pro-reformasi itu merupakan bagian dari penekanan bertahap terhadap penentang politik dan penggencetan kegiatan kebudayaan yang oleh pemerintah dianggap sebagai mendorong nilai-nilai "korup" Barat. Pemerintah menolak tuduhan pengecam dan menyatakan tidak menyensor media.

Sharq, yang dalam bahasa Parsi berarti "Timur", dulu biasa menerbitkan pandangan-pandangan kebijakan luar negeri dan ekonomi Ahmadinejad.

Surat kabar itu juga menghadapi tuduhan-tuduhan lain seperti menerbitkan iklan untuk organisasi oposisi, menunjukkan rasa tidak hormat pada Islam dan pemimpin agama, serta tidak menghormati Ahmadinejad dalam gambar karton.

Sedikitnya empat penerbitan pro-reformasi dilarang sejak terpilihnya kembali Ahmadinejad sebagai presiden pada Juni tahun lalu dalam pemilihan umum yang dipersoalkan, dan puluhan wartawan moderat hingga kini masih berada di dalam penjara.

Iran dilanda pergolakan besar setelah pemilihan umum tahun lalu.

Ratusan reformis ditangkap dan diadili dalam penumpasan terhadap oposisi pro-reformasi setelah pemilihan umum presiden Juni lalu yang dipersoalkan, yang disusul dengan kerusuhan terbesar dalam kurun waktu 31 tahun.

Dua calon presiden yang kalah, Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, mantan ketua parlemen yang berhaluan reformis, bersikeras bahwa pemilihan Juni itu dicurangi untuk mendudukkan lagi Mahmoud Ahmadinejad ke tampuk kekuasaan.

Meski ada larangan protes dan penindakan tegas dilakukan oleh aparat keamanan, para pendukung oposisi berulang kali memanfaatkan acara-acara umum untuk turun ke jalan.

Delapan orang tewas dan ratusan pendukung oposisi ditangkap dalam demonstrasi paling akhir pada 27 Desember, ketika ribuan pendukung oposisi melakukan pawai semacam itu.

Protes besar berkobar sejak pemilihan presiden Juni dan sejumlah besar orang ditangkap.

Sejumlah reformis senior, aktivis, wartawan dan yang lain yang ditangkap setelah pemilu Juni itu dikabarkan masih berada di dalam penjara dan beberapa telah disidangkan atas tuduhan mengobarkan kerusuhan di jalan. Oposisi mengecam persidangan itu.

Termasuk yang diadili adalah pegawai-pegawai kedutaan besar Inggris dan Perancis serta seorang wanita Perancis yang menjadi asisten dosen universitas.

Sejauh ini sudah sejumlah orang yang dijatuhi hukuman mati dan puluhan orang divonis hukuman penjara hingga 15 tahun.

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengecam protes pasca pemilu itu dan memberikan dukungan tanpa syarat kepada Ahmadinejad dan mengumumkan bahwa pemilihan itu sah, meski dipersoalkan banyak pihak.

Kubu garis keras di Iran menuduh para pendukung oposisi, yang turun ke jalan-jalan untuk memprotes pemilihan kembali Ahmadinejad sebagai presiden, didukung dan diarahkan oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya AS dan Inggris.

Para pemimpin dunia menyuarakan keprihatinan yang meningkat atas kerusuhan itu, yang telah mengguncang pilar-pilar pemerintahan Islam dan meningkatkan kekhawatiran mengenai masa depan negara muslim Syiah itu, produsen minyak terbesar keempat dunia.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad, yang telah membawa Iran ke arah benturan dengan Barat selama masa empat tahun pertama kekuasaannya dengan slogan-slogan anti-Israel dan sikap pembangkangan menyangkut program nuklir negaranya, dinyatakan sebagai pemenang dengan memperoleh 63 persen suara dalam pemilihan tersebut.

Para pemimpin Iran mengecam "campur tangan" negara-negara Barat, khususnya AS serta Inggris, dan menuduh media asing, yang sudah menghadapi pembatasan ketat atas pekerjaan mereka, telah mengobarkan kerusuhan di Iran.

Sejumlah pejabat Iran mengatakan bahwa 36 orang tewas selama kerusuhan itu, namun sumber-sumber oposisi menyebutkan jumlah kematian 72. Delapan orang lagi tewas selama protes anti-pemerintah pada 27 Desember, menurut data resmi. (M014/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010