Jakarta (ANTARA News) - Kadin Indonesia mengusulkan pemerintah membentuk lembaga khusus untuk mengatasi tumpang tindih kebijakan yang menyebabkan iklim usaha dan investasi di dalam negeri tidak kondusif.

Ketua Dewan Pertimbangan Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto di Jakarta, Selasa, mengatakan kondisi tersebut menekan laju pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di bawah potensi sesungguhnya.

"Pemerintah sebaiknya membentuk suatu lembaga atau unit khusus yang bertugas melakukan sinkronisasi terhadap berbagai kebijakan lintas sektoral, guna menghindari terciptanya iklim usaha dan investasi yang tidak kondusif," katanya.

Ia menilai selama ini banyak kebijakan pemerintah yang tumpang-tindih dan kontraproduktif, seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebabkan investor hengkang karena ada pasal yang krusial yaitu pengusaha tetap wajib membayar pesangon terhadap pekerja yang diputus hubungan kerjanya, akibat melakukan pelanggaran berat, termasuk kriminal. Pekerja juga, kata dia, menurut undang-undang itu, bisa membentuk serikat hanya dengan 10 orang.

"Keberadaan UU tersebut mengakibatkan iklim investasi di dalam negeri kurang kondusif. Sudah bertahun-tahun pemerintah menjanjikan revisi, tapi sampai sekarang tak juga terealisasi," ujar Suryo.

Hal lain, kata dia, adalah kebijakan kenaikan cukai minuman keras sampai 200 persen yang memukul industri pariwisata, hotel, dan restoran.

"Tarif cukai sebesar itu bisa saja diterapkan, tapi mestinya bertahap, tidak sekaligus. Kalau diterapkan langsung, industri pariwisata, hotel, dan restoran sulit berkembang," ujar Suryo yang juga Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI).

Pada 1 April 2010 pemerintah menghapus Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) minuman beralkohol seiring diberlakukannya UU No 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM. Namun, dalam waktu bersamaan, pemerintah memberlakukan tarif cukai baru minuman beralkohol hingga 200 persen.

Contoh lain yang tak kalah pentingnya, menurut Suryo adalah revisi standardisasi temperatur baku mutu kandungan air dari 45 menjadi 40 derajat celcius yang tertuang dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan).

Kebijakan itu, kata dia, bisa berdampak negatif terhadap pencapaian target "lifting" minyak nasional sebanyak 965 ribu barel per hari (bph).

"Dengan adanya kebijakan itu, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kesulitan. Mereka butuh waktu lama dan harus mengeluarkan biaya investasi yang besar untuk penambahan instalasi dan peralatan baru," ujar mantan Dubes Keliling untuk wilayah Amerika Utara, Tengah, dan Selatan pada masa pemerintahan BJ Habibie itu.

Ia juga menilai kebijakan kontraproduktif lainnya yaitu dalam pengadaan tabung elpiji tiga kilogram untuk program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji.
(R016/S025/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010