Jakarta (ANTARA News) - Baru-baru ini terbetik berita yang menarik dalam medi bahwa Bank Sentral China secara resmi merencanakan/menargetkan revaluasi Yuan lagi sebelum September 2010. Namun, para pembuat kebijakan China tetap memegang kendali atas kurs Yuan dengan antara lain ungkapan bahwa China tidak boleh menyerah pada tekanan politis dari Amerika Serikat (AS).

Jika menelaah kebelakang sejak 1980, maka kebijakan ekonomi gaige kaifang (kebijakan membuka diri) dengan prinsip menerapkan strategi mantap gradualisme. Dalam perkembangannya, Pemerintah China menetapkan dua tingkat nilai tukar (dual exchange rate mechanism). Dengan mekanisme ini para investor diberi kemudahan untukmenukarkan mata uangnya dengan Yuan pada kurs yang lebih tinggi dibandingkan kurs resmi.

Dengan mekanisme itu, Yuan mengalami devaluasi untuk mencapai keseimbangan pasar (market equilibrium), demikian Shujie Yao dan ZhongYi Zhang dalam Openness and Economic Performance: A Comparative Study of China and the Asian NiIEs (Jurnal of Chinese Economic and Business Studies”, 2003).

Para investor mulai tertarik untuk melakukan investasi dan pada gilirannya cadangan devisa China meningkat secara drastis. Dengan kekuatan cadangan devisa, mulai tahun 1994, mekanisme dua tingkat kurs mata uangnya dihapus dan diberlakukannya hanya satu kurs resmi. Demikian ketegasan Bank Sentral China.

Kurs resmi Yuan ketika tahun 1978 adalah Dolar AS 1 = Yuan 1,68 dan melemah terus menjad1 Yuan 8,321 tahun 1995. Terjadilah devaluasi sebesar 400% dalam kurun waktu 17 tahun. Sejak tahun 1995 , kurs mengambang dihapus dan kemudian di’patok’ menjadi Dollar AS 1 = Yuan 8,321 dan untuk kalkulasi resmi dipatok 8,28 sampai 22 Juli tahun 2005. Baru 22 Juli 2005, kurs Yuan terhadap Dolar AS menjadi Dolar AS 1 = Yuan 8,11.

Makin menguatnya perekonomian , terjadi revaluasi kembali secara gradual melalui pegging oleh Bank Sentral China:

- akhir tahun 2006: Dolar AS 1 = Yuan 7.69

- akhir tahun 2007: Dolar AS 1 = Yuan 7.27

- April 2008: Dollar AS 1 = Yuan 6,992

- akhir tahun 2009 hingga sekarang: Dollar AS 1 = Yuan 6,82.

Hal yang patut dicermati adalah bahwa selama krisis keuangan Asia, justru cadangan devisa China meningkat terus dan sekarang ini berkisar pada jumlah Dollar AS $2,34 trilyun jumlah tersebut berada di atas cadangannya Jepang (sekitar Dollar AS $ 980 milyar). Meningkatnya cadangan di China itu karena makin meluasnya ekspor yang didukung oleh kebijakan stimulasi ekspor yang pro-aktif dan makin tegasnya transformasi struktural ekonomi yang gradual.

Sejak 1978 sampai sekarang inipun Bank Sentral China tidak pernah lepas kendali atas sumber daya keuangan, terutama dengan dipatok (pegged)-nya yuan dari 1994 sampai 2005 dan seterusnya.

Pemerintah China tetap mengendalikan hampir semua sumber daya finansial dan dengan efektif mengalokasi ke semua sektor yang membutuhkannya. Semua bank di China diarahkan oleh Bank Sentral agar bagi pelaku ekonomi yang dinilai layak kredit (credit worthy) dengan manajemen profesional diberi fasilitasi kredit dengan bunga yang sekitar 5-6%.

Sebagai negara berkembang yang terbesar, maka kinerja ekonomi China sejak 1978 telah memberi dampak yang kuat pada ekonomi global. Sebut saja gaige kaifang (kebijakan membuka diri) sambil berproses mereformasi infrastruktur ekonomi dengan strategi gradualism.

Transformasi ini patut disambut baik, meskipun ada di kalangan pengamat Barat dan beberapa dari Jepang yang menyebut bahwa pendekatan gradualis sulit untuk dibenarkan (justified).

Pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dan kemajuan sosial sejak ‘gaige kaifang’ itu diawali tahun 1978. Dalam banyak aspek, yang dijalani serupa dengan yang dilalui oleh negara negara Industri Baru Asia tahun 1960an sampai 1990an dan seterusnya. Bukannya mencontek, tapi pengamatan menunjukkan keserupaan. Apalagi dengan masuknya Hongkong dan Makau kedalam orbit China telah memperkuat posisi China dalam perekonomian dunia.

Sejak awal 1990an ekonomi China benar benar telah menunjukkan pertumbuhan yang menakjubkan, dengan rata rata 9% per tahunnya. Industri China memasuki tahun 2000 sudah menghasilkan sekitar 75% mainan anak anak dunia, 58% garmen dan 30% telepon seluler. Lebih dari US $1 miliar setiap minggunya masuk ke China. Perkiraan oleh McKinsey Quaterly dalam “China Today” (2004) menyebut China sebagai eksportir ketiga terbesar memasuki tahun 2008. Berbagai kalangan menyebut ekspor China untuk tahun 2009 melampaui jumlah Dollar AS 800 milyar.

Sektor perbankan China sudah sejak lama didominasi oleh empat bank komersial milik negara, yakni 1. Industrial and Commercial bank of China, 2. Bank of China, 3. China Construction Bank, dan 4. Agricultural Bank of China. Secara bertahap masuklah bank swasta asing : Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) yang selain diizinkan beroperasi di Beijing juga di beberapa kota besar China.

Sejak awal tahun 2000an , bank bank China memperlihatkan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Meskipun masih menanggung ‘bad debts’ sebagai akibat masa lalu yang disebabkan oleh adanya mismanajemen bank bank demi memelihara kesempatan kerja dengan memberi dukungan terbatas keuangan pada perusahaan perusahaan negara yang kebanyakan tidak memberi laba.

Pertengahan 2006, kemudian setiap kesempatan, Amerika Serikat pernah mendesak Bank Sentral China agar merevaluasi kembali yuan. China menolak merevaluasi mata uang yuan alias tak mau tunduk pada tekanan politis AS yang ingin mempertahankan hegemoni ekonomi. Dengan melihat data di atas, sebenarnya yuan sudah mengalami penguatan terhadap dolar AS.

Geng Xiao, direktur Brookings-Tsinghoa Center for Public Policy dalam wawancara dengan Clay Chandler, dari McKinsey Publishing dalam Mckinsey Quarterly, February 2010, antara lain menolak anggapan kalangan elit AS, bahwa nilai mata uang yuan selama ini dinilai lebih rendah (undervalued), hingga nilai itu memberi keunggulan yang tidak adil pada para eksportir China, dan menyebabkan meningkatnya tingkat penganguran AS.

Tegas-tegas Geng Xiao menyatakan bahwa tidak boleh adanya pemecahan sepihak mengenai ketidakseimbangan dalam arti: China menikmati surplus perdagangan, sedangkan AS mengalami defisit perdagangan. Keduanya harus memperbaiki kondisi ini.

Dari perspektif AS, maunya penyesuaian jangka pendek melalui tingkat harga dan nilai mata uang (exchange rate). Jadinya, AS ingin cepatnya penyesuaian nilai tukar mata uang, dan ini berarti adanya apresiasi mata uang hingga dapat memperbaiki ketidakseimbangan perdagangan. Peranan pasar uang yang maunya menjadi acuan pihak AS

Dari sudut pandang China, penekanan lebih pada perubahan struktural dan institusional jangka menengah dan jangka panjang. Bagi China, tidak mudah berperannya tingkat nilai mata uang melalui mekanisme pasar untuk memperbaiki keseimbangan perdagangan.

Bayangkan, kalau China terus menerima tekanan pihak AS dan membiarkan nilai yuan mengalami apresiasi, hal ini justru menjurus pada membesarnya cadangan mata uang asing, dan adanya kemungkinan serbuan dunia memegang mata uang yuan.

Keberhasilan China sejak 1980an sampai sekarang adalah karena kebijakan gradualisme dan tidak tergesa-gesa dalam melangkah maju , termasuk dalam menentukan tingkat inflasinya dan suku bunga yuan. Tantangannya ke depan adalah perjalanannya masih jauh menuju ekonomi terbuka (open economy) termasuk keterbukaan penuh dalam persaingan dalam kancah internasional.

Inilah beberapa upaya pemahaman sebagai tantangan bagi para pembuat kebijakan, pengamat dan pelaku bisnis di Indonesia, agar makin meningkat dalam mutu profesionalisme yang tidak mudah mencari quick fix dalam menanggapi perubahan-perubahan yang akan terjadi kini dan mendatang.

*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis China dan Asia Timur; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Oleh Oleh Bob Widyahartono MA *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010