Jakarta (ANTARA News) - "Indonesia Negara Maritim" memang bukan jenis buku yang serta merta menarik perhatian, tapi pembacanya akan mendapat perspektif baru yang mencengangkan jika buku itu dibaca sampai kata terakhir.

Penampilan buku dan sistematika pengupasannya yang seperti diktat kuliah juga tidak menutupi kekritisan penulisnya yang menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya buta terhadap negerinya.

Buku terbitan Teraju, April 2009, itu memuat ironi negara maritim yang tak membesarkan kekuatan lautnya, karena bagian besar pemimpin dan rakyatnya tidak mempedulikan wilayahnya.

Penulisnya, Wahyono SK, dengan gamblang mengkritik cara pandang elite terhadap konsepsi negara maritim.

Dua pertiga wilayah Indonesia itu lautan dan oleh laut itu 18.000 pulau dipertautkan. Dengan kondisi itu, menurut Wahyono, Indonesia seharusnya menjamin keamanan lautnya seperti Inggris dan Amerika Serikat membangun hegemoninya berabad-abad.

Ironisnya sejumlah langkah tidak mencerminkan itu, di antaranya Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2007 tentang Dewan Kelautan Indonesia yang mencabut Keputusan Presiden Nomor 161 Tahun 1999 tentang Dewan Maritim Indonesia.

Wahyono bereaksi, "Mengapa pemerintah mempersempit lingkup tanggungjawab binaannya? Sejak kapan istilah maritim lebih sempit dari kelautan? Ini pembohongan publik yang tidak tanggung-tanggung yang membuat masyarakat maritim kecewa berat. Bahkan Dewan yang baru hanya forum konsultasi di bidang kelautan dan tidak dapat mengambil keputusan apa-apa."

Ketidakpedulian negeri ini pada isu maritim juga terlihat pada sikap pemimpin negeri terhadap Sipadan dan Ligitan.

"Mereka tidak merasa kehilangan apa-apa ketika kedua pulau itu diambil negara tetangga. Juga ketika ada negara tetangga yang mau meminjam salah satu pulau untuk dihujani dengan bom sungguhan, ada pemimpin yang tidak berkeberatan," kata Wahyono.

Menurut dia, sebagian pemimpin memandang sempit kedaulatan dan eksistensi negara maritim yang merdeka dan berdaulat, dan bahwa kelangsungan hidup Indonesia tergantung kepada keutuhan pulau-pulau dan lautan yang mengelilinginya.

Wahyono lalu beridealisasi, masyarakat harus diberi motivasi ke laut untuk berpartisipasi dalam pembangunan kekuatan laut. Dalam masyarakat harus tumbuh tradisi dan budaya maritim yang diantaranya tidak mengesampingkan keperluan membangun angkatan laut yang kuat yang justru berperan besar dalam pembangunan politik, sosial dan budaya.

Angkatan laut, khususnya kapal perang, kata Wahyono, tak hanya penting bagi eksistensi negara di pulau-pulau terpencil, tetapi juga memperkenalkan wujud nyata integrasi bangsa Indonesia melalui awak kapalnya. Pada kapal perang melekat kekuasaan negara, karena merupakan bagian dari kedaulatan negara.

Maka itu, kata dia, Indonesia memerlukan angkatan laut yang kuat bukan hanya demi mengawal republik, tapi juga menyempurnakan perjuangan diplomasi.

Dalam situasi tidak normal atau perang, angkatan laut berfungsi menegakkan penguasaan atas laut, mencegah musuh menguasai laut, dan memanfaatkan penguasaan laut untuk kepentingan memproyeksikan kekuatan darat ke pantai musuh.

Untuk itu, pembangunan sistem pertahanan laut --meliputi pembuatan kapal, pembangunan pangkalan dan jaringan sistem logistik dan kesiapan awak termasuk membangun budaya dan tradisi bahari rakyatnya-- adalah mutlak dan merupakan upaya terpadu yang melibatkan seluruh potensi dan kekuatan nasional.

"Kita harus mengembangkan sistem pertahanan kreatif dan proaktif, yang jeli melihat peluang untuk mengelakkan, membelokkan, atau membalikkan serangan, atau bahkan memukul musuh di tempat yang tidak terduga," kata Wahyono.

Dalam kerangka itu, anggaran yang layak menjadi penting bagi pertahanan nasional, sebaliknya anggaran rendah akan mengganggu keamanan nasional.

Menurut Wahyono, kesenjangan kekuatan yang ditimbulkan oleh rendahnya anggaran belanja angkatan bersenjata (1,0 persen PDB) terhadap standard rata-rata empirik yang berlaku (3,0 persen PDB) menimbulkan kerawanan pada stabilitas keamanan nasional.

Selain itu, harus ada kesadaran luas mengenai konsepsi ruang gerak bangsa.

Pakar geopolitik Friedrich Ratzel mengatakan, setiap bangsa harus mempunyai konsepsi tentang ruang hidup bangsa, letaknya, luasnya, batas-batasnya. Runtuh dan pecahnya bangsa adalah akibat menyusutnya konsepsi ruang hidup, contohnya Uni Soviet dan Yugoslavia.

Salah satu cara aktual dari kesadaran beruang gerak ini adalah segera menamai dan mengelola ribuan pulau kecil di Nusantara yang rawan dikuasai asing, baik negara tetangga maupun investor asing.

Kemudian, wawasan kebangsaan seperti Wawasan Nusantara harus direvitalisasi, karena wawasan nasional membentuk orientasi, persepsi, sikap dan prilaku yang dihayati seluruh rakyat, bahwa mereka satu.

Apalagi dalam beberapa masa ke depan, Indonesia menghadapi tantangan pelik seperti ancaman global kenaikan harga energi dan bahan pangan serta perubahan iklim, pelanggaran batas wilayah negara, pencurian sumber alam, kejahatan transnasional, penyelundupan kekayaan alam, dan narkotika.

Belum lagi demokratisasi, liberalisasi, dan pertentangan agama, yang telah menjadi alat pemaksa internasional.

Wahyono juga mengulas pendekatan pertahanan nasional yang diadopsi banyak negara, yaitu wajib militer, yang memberi insentif penting bagi pembangunan karakter pemimpin nasional dan menjadi sarana pendidikan para calon pemimpin bangsa.

Buku ini jelasnya dapat menjadi referensi bermakna mengenai bagaimana negara ini seharusnya dikelola dan Wahyono memiliki kompetensi untuk berbicara banyak mengenai hal itu.

Dia prajurit sejati yang karir tempur dan akademisnya sama kuatnya. Begitu menamatkan Akademi Angkatan Laut, Surabaya, pada 1962, pria kelahirkan 12 April 1939 itu langsung bertugas di Kesatuan Kapal Selam dalam operasi pembebasan Irian Barat.

Wahono juga pemikir rezim maritim penting yang pernah mendampingi Mochtar Kusumaatmadja sebagai penasehat teknis delegasi Indonesia ke Konferensi PBB tentang Hukum Laut III.

Dia kini akademisi pada Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada.

AR09/s018

Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010