Jakarta (ANTARA News) - "Berita itu bukan sekedar menulis dan memaparkan 5W 1H (what,when,where,why,who dan how) tetapi sebuah discourse (wacana),"kata guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Ibnu Hamad dalam diskusi "Menggugat Tanggung Jawab Etika Pemberitaan Media Massa" di Gedung The Habibie Center Kawasan kemang Jakarta Selatan, Kamis.

Ibnu menambahkan bahwa berita yang ada sekarang adalah sebuah konstruksi realitas, bukan realitas yang sebenarnya .

"Disitulah letak discourse-nya melalui permainan strategi framing, signing, priming. Terkait etika pemberitaan, maka patut dibuat news disclaimer, ibarat sebuah produk," kata Ibnu.

Framing mencakup pengetahuan, fakta, imajinasi, moralitas, signing yaitu aspek verbal,non verbal, grafis, tataletak ketiga priming meliputi penentuan tempat, dan penentuan waktu.

Sementara itu mengenai kompetensi narasumber bercermin dugaan rekayasa Makelar Kasus oleh TVOne , Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika dan Dewan Pers Agus Sudibyo mengemukakan media harus mencek kebenaran informasi.

"TvOne tidak memperhatikan kredibilitas narasumber dan mengidentifikasikan berita yang tidak akurat serta melanggar kode etik," katanya.

Dia mengemukakan, pemberitaan yang tidak cover both side pasti menghakimi. Kalaupun berita telah unsur cover both side, belum tentu hal itu memenuhi sebuah kebenaran karena masih ada unsur - unsur lain yang harus dipenuhi. "Dan menurut Bill kovach (pakar jurnalisme asal AS) kebenaran dalam jurnalisme seperti stalagtit dalam goa," katanya.

Pada kesempatan itu, wakil dari Redaksi Pemberitaan Trans TV Satrio Arismunandar mengatakan bahwa saat ini pers tidak mencari kebenaran yang hakiki karena hal itu tidak mungkin tercapai. "Kebenaran adalah kebenaran yang prosedural," katanya.(YUD/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010