Medan (ANTARA News) - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku setuju dengan wacana pemiskinan para koruptor sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi di tanah air.

"Sikat semua harta mereka (koruptor, red)," ujarnya ketika berbicara pada dialog nasional Penegakan Supremasi Hukum dan Pemberantasan Korupsi yang digelar Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Sumatra Utara bekerja sama dengan DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Sumut di Medan, Sabtu.

Menurut menteri, sanksi berupa pemiskinan terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan praktik korupsi diyakini akan memberi efek jera yang lebih optimal.

Perilaku koruptor, katanya, merupakan perbuatan memperkaya diri. Dengan dimiskinkan, para pelaku korupsi akan mendapatkan sanksi yang jauh lebih berat ketimbang sekadar dihukum mati.

"Hukuman mati tetap menjadi bagian hukuman maksimal yang dapat memberi efek jera, tetapi yang penting mereka harus dimiskinkan. Sikat semua harta mereka," tegasnya.

Pada kesempatan itu Menkum HAM juga memunculkan wacana "pemutihan" terhadap tindak pidana korupsi, sepanjang uang negara bisa dikembalikan seutuhnya.

"Kita mau, jika ada koruptor yang bersedia mengembalikan uang negara yang telah mereka korupsi, maka negara akan menjamin mereka, negara akan melindungi mereka. Yang penting uang negara kembali," ujarnya.

Tentang tindakan pidana yang telah mereka lakukan dan semestinya dihukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku, menurut Patrialis Akbar hal itu tidak perlu dipersoalkan sepanjang mereka bersedia mengembalikan uang negara yang mereka korupsi.

"Jika ada yang mau mengembalikan uang korupsi itu, maka akan ada `pemutihan`. Ini memang masih wacana, namun perlu dipikirkan," katanya.

Menkum HAM mengaku berkeyakinan akan banyak sekali uang negara yang bisa dikembalikan jika wacana "pemutihan" itu dapat direalisasikan.

"Saya yakin dalam masa tiga bulan saja akan sangat besar uang negara yang bisa dikembalikan. Dalam tiga bulan bisa saja Rp1.000 triliun uang negara kembali," katanya.

(T.R014/Z002/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010