Jakarta (ANTARA News) - Program swasembada gula yang ditargetkan pada 2014 dinilai tidak akan tercapai, jika pengambilan keputusan tidak tepat dan tanpa dukungan penuh pemerintah.

"Saya pesimistis swasembada gula tercapai, jika kondisi yang dihadapi petani gula dari waktu ke waktu sama seperti saat ini," kata Anggota Komisi VI DPR-RI, Abdul Wahid, usai Rapat Panitia Kerja Swasembada Gula 2014, di Gedung MPR/DPR, Rabu.

Menurut Wahid, setidaknya tiga faktor yang menentukan berhasil tidaknya program swasembada gula, yaitu sisi harga komoditi gula di pasar, "on farm" dan "off farm" (tingkat petani dan faktor pendukung).

"Petani gula mengharapkan keuntungan, sehingga pemerintah harus berpikir agar harga gula jangan sampai di bawah harga pokok produksi (HPP)," katanya.

Dalam swasembada gula, pemerintah harus menerapkan bea masuk yang progresif. Seperti saat ini ketika harga gula dunia turun, bea masuk harus tinggi, sehingga harga dalam negeri dan pasokan gula nasional terjaga.

Untuk mewujudkan Program Swasembada Gula Nasional, pemerintah mencanangkan Rencana Aksi Program Revitalisasi Industri Gula 2010-2014, dengan investasi Rp4,43 triliun, terdiri atas Rp3,62 triliun untuk sektor "off farm" dan Rp815 milar sektor "on farm".

Dengan begitu, total produksi gula nasional pada 2014 ditargetkan mencapai 3,54 juta ton, meningkat dari proyeksi 2,5 juta ton pada 2009, dan sebesar 2,7 juta ton pada 2010.

Dengan revitalisasi tersebut, maka pada 2014 dari 3,54 juta ton produksi gula nasional, sebanyak 65,58 persen atau sekitar 2,3 juta ton adalah kontribusi pabrik gula PTPN.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar menyatakan, masalah gula nasional saat ini adalah adanya kesenjangan antara kebutuhan gula konsumsi dan ketersediaan atau pasok gula dalam negeri, dikarenakan masuknya gula kristal putih konsumsi oleh industri makanan dan minuman, yang seharusnya menggunakan gula kristal rafinasi impor.

Menurut Abdul Wahid, selain dari sisi harga, swasembada gula juga terkait dengan kesediaan investor menanamkan dana pada program revitalisasi pabrik gula.

"Harus ada kebijakan perindustrian dan perdagangan yang mendukung program-program revitalisasi. Kalau kebijakan pemerintah salah dan ngawur maka jangan harap investor untuk masuk," katanya.

Dari "on farm" diutarakan Wahid yang juga anggota Asosiasi Pengusaha Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ini, pemerintah juga harus menjamin pasokan bibit tebu berkualitas dengan harga yang rendah.

Anggota dewan dari Fraksi Gerindra ini menuturkan, dalam kondisi seperti saat ini pemerintah justru merobah badan hukum Pusat Penelitian Pabrik Gila Indonesia (P3GI) menjadi perseroan terbatas sehingga membuat arah lembaga itu menjadi lebih komersil.

Para peneliti juga dinilai tidak mendapat penghargaan dari pemerintah, sehingga banyak peneliti muda dan berkualitas memilih bekerja di Thailand.

"Bicara swasembada, bibit harus tersediayang didukung peneliti handal dengan dukungan pendanaan yang memadai," katanya.

Adapun dari sisi off farm" ditambahkannya, pembangunan pabrik gula juga dirasakan tidak perlu, cukup dengan meremajakan pabrik gula yang sudah ada.

Luas areal cukup 450.000 hektar, tapi intensifikasi dan revitalisasi harus dilaksanakan.

"Kalau mau memperluas areal, bikin pabrik baru itu terlalu "ngoyo". Mau bangun di Merauke, siapa yang mau?. Minim infrastruktur," tambahnya.

Untuk itu ujarnya, lebih baik intensifikasi lahan dan pabrik yang sudah ada dengan adanya sinergi dan jaminan pendanaan murah dari perbankan nasional.

"BUMN Perkebunan juga harus didukung penuh agar lebih berperan dalam industri gula nasional," katanya. (R017/K004)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010