Kuala Lumpur, 13/5 (ANTARA) - Sekitar 30 polisi Malaysia mendatangi warung internet dan apartemen Harmoni di Damansara, Selangor, Rabu (12/5), yang merupakan lokasi penjemputan tiga TKI Madura secara baik-baik oleh polisi setempat pada 16 Maret 2010.

Wartawan ANTARA di Kuala Lumpur, Kamis, melaporkan polisi penyidik dari "Bukit Aman" (istilah untuk markas besar kepolisian Malaysia) itu datang untuk melihat lokasi secara langsung merupakan langkah lanjutan, setelah mereka meminta keterangan dari enam orang saksi TKI.

Penyidikan polisi itu berdasarkan laporan para saksi bahwa tiga TKI yang ditembak mati polisi itu diambil secara baik-baik, meski media cetak Malaysia dan laporan polisi kepada KBRI menyebutkan tiga TKI itu merupakan anggota "Geng Gondol" yang terlibat dalam perampokan 19 rumah di Malaysia, termasuk rumah seorang senator di kawasan Ampang, Kuala Lumpur.

Versi polisi, ketiga TKI bernama Abdul Sanu, Muchlis dan Musdi asal Sampang, Madura itu ditembak mati karena mencoba menyerang polisi dengan satu senapan dan dua parang.

Mereka ditembak mati oleh polisi karena mengabaikan tembakan peringatan. Kejadian itu terjadi, Selasa, 16 Maret 2010 sekitar jam 03.30 waktu setempat di sekitar danau Kota Putri, Kuala Selangor.

Menurut versi ketua polisi Selangor Khalid Abu Bakar, awal mulanya mobil patroli polisi bertabrakan dengan sebuah sedan proton waja.

Setelah tabrakan, mobil itu kabur tapi tidak seberapa jauh akhirnya menabrak sebuah pohon di sekitar danau Kota Putri, Kuala Selangor. Keluar tiga penumpangnya membawa satu senjata api dan dua parang berusaha menyerang polisi.

Ketiganya ditembak mati ternyata tiga TKI bernama Abdul Sanu, Muchlis dan Musdi.

Beda cerita dari teman-teman, saudara yang tinggal bersama ketiga TKI yang ditembak mati tersebut saat melapor ke KBRI dan kepolisian Damansara, Selangor.

Menurut cerita mereka, sekitar sembilan polisi Malaysia tanpa seragam masuk ke warung internet di apartemen Harmoni, Damansara pada 16 Maret 2010.

Polisi itu akhirnya meminta semua yang ada di kafe internet untuk berdiri dan memisahkan warga Malaysia dan Indonesia.

Saat itu, polisi membawa enam TKI, termasuk Abdul Sanu, Muchlis dan Musdi.

Ketiga TKI itu mempunyai paspor dan izin kerja di Malaysia. Keenam TKI dijemput secara baik-baik untuk dimintai keterangan dan dibawa oleh beberapa mobil polisi.

Alangkah kagetnya, mereka semua ketika membaca berita di koran-koran Malaysia bahwa tiga teman dan saudara mereka telah ditembak mati dengan cerita versi polisi.

Mereka lebih kaget lagi ketika diberitahu bahwa ketiga TKI itu mempunyai mobil proton waja, padahal mereka tahu bahwa ketiga TKI itu Abdul Sanu, Muchlis dan Musdi sama sekali tidak bisa mengemudikan mobil, apalagi mempunyai mobil.

Tak semua dari enam TKI ditembak mati polisi Malaysia. Tiga lainnya masih hidup, dua TKI kini dipenjara di depo imigrasi Malaysia, di Kajang Selangor, dan satu lagi dilepas dan kembali tinggal di apartemen Harmoni karena mempunyai paspor dan izin kerja.

Para saksi pun melaporkan kejadian tersebut kepada KBRI. Dengan pendampingan KBRI, para saksi memberikan laporan resmi ke kepolisian Damansara.

KBRI akhirnya mengirim surat resmi kepada kementerian luar negeri, kementerian dalam negeri, dan kepolisian Malaysia untuk menanyakan adanya dua laporan yang berbeda atas kasus ini.

Deplu RI juga sudah memanggil Dubes dan atase kepolisian Malaysia di Jakarta guna menanyakan kasus penembakan tiga TKI.

Bahkan, dua LSM Malaysia, yakni Migrant Care dan Suaram (Suara Rakyat Malaysia), juga telah melakukan investigasi atas kasus penembakan tiga TKI itu.

Akhirnya, wakil kepala kepolisian Malaysia Ismail Omar menemui Dubes RI Da`i Bachtiar pada 29 April 2010 untuk membicarakan hal ini.

Wakil kepolisian Malaysia berjanji akan menyelesaikan kasus ini dengan sejujurnya dan akan menindak polisi jika terbukti bersalah.

Beberapa hari kemudian, para saksi TKI dimintai keterangan oleh "Bukit Aman" sebagai langkah awal investigasi kasus ini. Bukit Aman mengambil alih investigasi kasus itu.(A029/E011)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010