Jakarta (ANTARA) - Membanding-bandingkan jasa seseorang dengan orang lain tentunya kurang arif, apalagi membandingkan jasa seorang pahlawan dengan pahlawan lain.

Membandingkan jasa Raden Dewi Sartika dengan para pahlawan wanita lainnya seperti Cut Nyak Dien, Maria Walanda Maramis, atau dengan para pahlwan yang aktif dalam bidang pendidikan pun semisal Rd. Ajeng Kartini, Rasuna Said, ataupun Nyai Ahmad Dahlan tentunya kurang pas, karena mereka lahir dari rahim zamannya yang mempunyai sejarah, latar belakang budaya, problem dan tantangannya sendiri-sendiri.

Yang jelas mereka telah memberikan banyak kepada negeri ini, menginspirasi generasi penerusnya, agar selalu memberikan yang terbaik kepada bangsa ini dengan keikhlasan, rela berkorban, berintegritas tinggi, dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan.

Bagi kita, penghormatan kepada orang-orang yang telah berjasa bagi bangsa Indonesia adalah suatu keharusan moral yang tidak bisa ditawar lagi, dan tanpa harus dibeda-bedakan.

Karena dengan menghormati jasa para pahlawan kita akan menjadi bangsa yang besar.

Taufik Abdullah, seorang sejarawan Indonesia mengatakan bahwa “Pahlwan itu sebenarnya mitos. Bukan realitas. Dalam sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak ada yang disebut pahlawan”.

Disebut mitos karena tidak ada aktor sejarah yang meniatkan dirinya sebagai pahlawan. Predikat pahlawan baru diberikan kemudian, bahkan berselang cukup lama setelah sang aktor wafat.

Pahlawan dimunculkan lebih karena kebutuhan akan adanya simbol. Pemerintah adalah pihak yang dianggap sah mem-pahlawankan seorang tokoh. (Dikutip dari makalah Mumuh Muhsin Z, 8 Desember 2010).

Desember merupakan bulan lahirnya seorang pahlawan perempuan nasional. Namanya diabadikan dalam nama jalan yang hampir ada pada setiap kota di Indonesia, Raden Dewi Sartika.

Diabadikan nama beliau dalam bentuk nama jalan karena jalan mempunyai sifat/ nature “bergerak” maju. Harapannya adalah selain sebagai sebuah penghormatan, juga akan menjadi inspirasi bagi kita agar terus bergerak maju menyongsong masa depan.

“Den Uwi” begitulah beliau biasa dipanggil, lahir pada tanggal 4 Desember 1884 di Bandung dari keturunan keluarga priyayi (menak) Sunda.

Ayahnya adalah seorang Patih Bandung bernama Raden Rangga Somanagara, sedang ibunya Rajapermas, adalah putri Bupati Bandung saat itu, R.A.A. Wiranatakusumah IV. Keluarga RR Somanagara adalah keluarga yang sangat maju cara berpikirnya.

Beliau memberikan hak pendidikan yang sama kepada semua putra-putrinya. Dengan menentang adat pada saat itu dimana wanita hanya ditempatkan pada Tiga UR (Kasur, Dapur, dan Sumur), dan “aib” bagi menak Sunda yang menyekolahkan anak perempuannya, Den Uwi disekolahkan pada Eerste Klasse School.

Tiba-tiba “wahyu” kesadaran dan kecintaannya kepada dunia pendidikan dan kaumnya datang dengan cara yang sangat mengejutkan dan menyedihkan. Ayah dan ibunya diasingkan oleh Kolonial belanda ke Ternate pada bulan Juli 1893.

Den Uwi pun putus sekolah hanya sampai kelas II dan selanjutnya dititipkan kepada pamannya dari pihak Ibu seorang Patih Cicalengka yang bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat. Berbeda dengan keluarganya, pamannya dikenal sebagai seorang yang sangat beradat luhur, dan menjunjung tinggi keluhuran kepriyayian.

Seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula, Den Uwi kecil yang lahir dan besar dari keluarga yang berpikiran maju dan penuh dengan kasih sayang, sekarang harus putus sekolah dan tinggal di tempat pamannya yang sangat berbeda.

Karena diasingkan itu merupakan aib bagi priyayi pada saat itu, maka Uwi kecil saat itu harus tidur di kamar bagian belakang rumah pamannya, layaknya seorang pembantu.

Tugas utama Den Uwi adalah mengantarkan sepupu-sepupunya belajar bahasa Belanda, membaca dan menulis kepada seorang nyonya Belanda.

Bergaul bersama dengan anak-anak pembantu yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak, telah menyadarkan Den Uwi akan keberadaan kaumnya yang dilemahkan oleh sistem pendidikan hasil politik etis pada saat itu, yang hanya melahirkan tukang-tukang yang dibutuhkan dan demi kepentingan penjajah. Sebagian besar yang mengenyam pendidikan politik etis juga adalah kaum lelaki.

Ketergantungan yang sangat kuat kaum wanita kepada orang tua dan suaminya juga menjadi perhatian yang sangat besar, di mana beliau melihat sendiri betapa ibunya sangat tidak berdaya ketika suaminya diasingkan dan harta-hartanya disita oleh Negara/ kolonial penjajah.

Sejak itu, Den Uwi mulai mengajarkan anak-anak pembantu di kepatihan untuk belajar membaca dan menulis, dan itu sangat menggemparkan masyarakat Cicalengka pada saat itu.

Baca juga: Pemberian gelar pahlawan pada perempuan tingkatkan harkat dan martabat

Baca juga: Pahlawan Nasional untuk perempuan pemberani tanah Mandar

Baca juga: Puteri Indonesia ingin film pahlawan perempuan diperbanyak


Rausan Fikr

Meminjam teori Rausan Fikr/ enlightened thinkers Ali Shariati, seorang pemikir besar Iran bahwa Raden Dewi Sartika telah masuk pada tahapan Rausan Fikr yaitu sadar akan kondisi masyarakatnya (human condition).

Kemudian sadar akan setting historis kehidupan masyarakat secara global dan memiliki tanggung jawab untuk melakukan perbaikan. Perbaikannya dengan pemberdayaan, dipintarkan, dibangunkan.

Kepulangan sang ibunda ke Bandung dari pengasingan, menjadi obat kegelisahan beliau. Dengan rindu yang mendalam, serta kesadaran bahwa tinggal di rumah pamannya yang sangat feodal tidak akan pernah merubah apa-apa, akhirnya Dewi Sartika kembali ke Bandung.

Endapan dan perenungan dari pengalaman yang sangat pahit telah merubah menjadi ideologi dalam diri Dewi Sartika muda.

Di belakang rumah Ibunyalah (1902) Den Uwi mulai mengajar anak-anak dari saudara-saudaranya.

Dengan keberaniannya, setelah di Bandung, Dewi Sartika, kemudian menghadap Bupati Bandung, Martanagara, menceritakan pemikirannya, lalu kemudian meminta ijin untuk mendirikan sekolah bagi kaum putri dari bangsa pribumi.

Tidak seperti dirinya dan teman-temannya dari kalangan Menak dan Eropa, Dewi Sartika menginginkan sekolah yang dibuka untuk kaumnya dari golongan Bumiputera dan pribumi dan dari rakyat jelata. “

Dari pengalaman langsung yang dialaminya sendiri, Dewi Sartika sudah dapat mengatakan apa yang paling perlu diperbaiki adalah kecakapan membaca dan menulis, di samping pengetahuan kewanitaan, kesehatan, dan hal-hal yang umum lainnya“. Demikian kata Rochiati Wiraatmadja (Dewi Sartika, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983).

Keinginan untuk membuka sekolah kemudian diijinkan oleh Bupati Bandung, dan memintanya untuk dilaksanakan di Pendopo Kabupaten. Sakola Istri pertama akhirnya berdiri pada tanggal 16 Januari 1904, di Pendopo Kabupaten Bandung.

Dewi Sartika yang saat itu masih berusia 20 tahun bersemangat terjun mengajar dan menerapkan pemikiran-pemikirannya.

Untuk memberikan pendidikan yang baik kepada murid-muridnya yang berjumlah 20 murid dari keluarga bumiputera, Dewi Sartika juga meminta bantuan seorang suster Belanda Zuster van Arkel dari Rumah Sakit Imanuel Bandung untuk mengajar tentang kesehatan (Fadrik Aziz Firdausi, September 2019).

Karena peminatnya semakin banyak, maka pada tahun 1905, Dewi Sartika memindahkan sekolahnya ke Ciguriang-Kebun Cau.

Semua biaya ditanggung sendiri Dewi Sartika, serta bantuan dari Bupati Bandung. Tahun 1906, beliau menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata (seorang guru di Sekolah Karang Pamulang) yang sangat mendukung gagasan Dewi Sartika. Tahun 1912, sudah ada Sembilan Sakolah Istri di kota Kabupaten Tatar Sunda.

Memasuki usia ke 10 tahun Sakolah Istri, kemudian berganti nama dengan Sakola Kautamaan Istri.

Penggantian nama ini juga diiringi dengan adanya perubahan pada sistim pendidikan Dewi Sartika yaitu dengan dimasukannya pelajaran ketrampilan/ kejuruan bagi perempuan untuk dunia kerja. “Ieuh barudak, ari jadi awewe kudu sagala bisa, ambeh bisa hirup” yang berarti “Wahai anak-anakku, kalau jadi perempuan itu harus degala bisa, agar kita bisa hidup” adalah kalimat sakti yang selalu ditekankan oleh Dewi Sartika kepada muridnya.

Perjuangannya bukan hanya berhenti pada hak pendidikan bagi kaum perempuan saja, tetapi juga beliau menyuarakan kesetaraan kesejahteraan bagi perempuan dan laki-laki. “Jika kaum perempuan melakukan pekerjaan yang sama banyak dengan lelaki, ia berhak mendapatkan upah yang sama besar pula dengan kaum lelaki”.

Tahun 1929, dalam peringatan 25 tahun sekolahnya, Dewi Sartika kemudian mengganti nama sekolahnya menjadi Sakola Raden Dewi. Tnggal 11 September 1947, Dewi Sartika meninggal dunia pada usia 72 tahun di Tasikmalaya.

Melihat perjuangan R. Dewi Sartika, maka secara sosiologis menurut Shariati, Dewi Sartika sudah bebas dari empat macam penjara yang membelenggu manusia; Penjara alam, penjara sejarah, penjara masyarakat dan penjara ego.

Dia tidak terbelenggu oleh keningratannya, oleh sejarah keluarganya, oleh budaya masyarakatnya, dan yang paling sulit dia sudah merdeka dari penjara egonya, yaitu lebih mementingkan orang banyak.

Baca juga: Buku bergambar "Dewi Sartika" dan "Wahid Hasyim" sasar generasi muda

Baca juga: Kemensos meriahkan Hari Pahlawan dengan sejumlah kegiatan virtual

Baca juga: Jurnalis perempuan pertama dan Ibu Soed diusulkan jadi pahlawan


*) Nanang Sumanang adalah guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Copyright © ANTARA 2020