Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah dinilai masih lemah dalam menghadapi tekanan negara maju terkait dengan telah disepakatinya "Letter of Intent" senilai satu miliar dolar AS antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia, kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih.

"Pemerintah Indonesia seharusnya tidak perlu mengharapkan bantuan dengan nama untuk keselamatan alam, apalagi jika ada syarat-syarat yang harus dipenuhi," kata Saragih saat dihubungi, di Jakarta, Jumat.

Hal tersebut dikemukakan menanggapi pada Rabu (26/5) Pemerintah Indonesia dan Norwegia menyepakati "Letter of Intent" (LoI) senilai 1 miliar dolar AS untuk kerja sama pengurangan emisi karbon dari penggundulan dan kerusakan hutan.

Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa Indonesia akan menjaga hutannya dalam luasan tertentu sesuai perhitungan yang ada.

Menurut Saragih, pemerintah masih terlalu lemah dalam menghadapi tekanan negara-negara industri dan dinilai tidak mampu menghadapi tekanan-tekanan negara-negara industri dibungkus oleh isu-isu lingkungan.

Akibatnya, untuk mengelola dan menjaga kelestarian lingkungan, pemerintah Indonesia harus meminta-minta sumbangan dari negara-negara industri.

Adanya kesepakatan LoI dengan Norwegia itu, menurutnya, justru membuka lebar pintu intervensi negara-negara maju terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia.

Karena dengan menerima dana hibah 1 miliar dolar AS, maka Indonesia harus bersedia memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh negara pemberi bantuan.

"Ibarat seorang anak kecil supaya mau menuruti orangtuanya, maka si anak kecil diberi permen agar mau menuruti kemauan orang tuanya," kata Saragih.

Dia juga mengkritik perilaku sejumlah negara maju yang sesungguhnya justru melakukan pengrusakan hutan sehingga menjadi gundul, namun seringkali menyalahkan negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam jangka panjang, dia mengkhawatirkan akan berakibat pemerintah tidak mampu mengontrol produksi dan perdagangan komoditi unggulan di pasar internasional.

Pemerintah juga tidak pernah mampu mengatur secara tegas kapan, di mana, dan dalam jumlah berapa komoditi unggulan itu harus diproduksi dan dipasarkan.

"Misalnya, pemerintah juga tidak pernah mampu mengatur perdagangan minyak sawit di pasar internasional, padahal negara kita adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia," tambahnya.

Karena itu, menurutnya, selama ini, Serikat Petani Indonesia memiliki posisi tegas, menolak setiap kebijakan pemerintah yang berakibat Indonesia semakin tergantung pada negara-negara industri melalui mekanisme perdagangan internasional.

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hassan, yang turut serta mendampingi Presiden dalam konferensi itu mengatakan, sesuai LoI dengan Norwegia itu memang kawasan tertentu yang telah disepakati tidak boleh dialihfungsikan menjadi daerah pertanian atau yang lainnya.

Ia menjelaskan, untuk kebutuhan pertanian, Indonesia akan mengutamakan lahan-lahan yang terlantar, dan ada sekitar 6,7 juta hektar lahan kritis yang dapat dimanfaatkan.(*)
(T.A025/R009)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010