Jakarta (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) diminta tidak mengeluarkan fatwa haram rokok karena dapat berpotensi secara ekonomi dan sosial, bahkan merupakan lonceng kematian bagi industri rokok. Permintaan tersebut disampaikan oleh pengurus MUI Kudus dan DPRD Kudus, Jawa Tengah, kepada pengurus MUI Pusat di Jakarta, Selasa (20/1). Mereka menolak rencana fatwa haram rokok karena sebagian penduduk Kudus bermata pencaharian dari rokok. "Sebagai daerah berbasis industri rokok, masyarakat Kudus amat menggantungkan denyut perekonomiannya dari bisnis rokok. Saat ini ada 100 ribu pekerja di pabrik-pabrik rokok," kata Ketua DPRD Kudus Drs H. Asyrofi. Hal senada disampaikan Ketua MUI Kudus, M Syafiq Nashan bahwa dampak sosial apabila rokok diharamkan bagi masyarakat Kudus sangat keras. Karena, setengah penduduk Kudus bergantung pada rokok. Warga bekerja sebagai petani tembakau dan menjadi buruh di pabrik-pabrik rokok. Sementara itu Prof Dr Yunahar Iljas, salah satu Ketua MUI Pusat mengatakan, protes MUI Kudus akan ditampung dan dibawa dalam pertemuan ulama di Padang Panjang, Sumatera Barat 24-26 Januari 2009. "Semua masukan itu kita tampung, akan dibahas pada ijtima ulama. Apakah akan keluar fatwa haram mutlak, atau hanya di tempat umum atau haram bagi anak-anak atau mungkin dipending, tidak ada fatwa rokok," ujarnya. Ketua MUI Cholil Ridwan meminta MUI Kudus untuk bersabar dalam menunggu protesnya diakomodasi. "Uniknya yang minta haram, banyak lembaga yang non Islam, kalangan dokter dan LSM," katanya seraya menambahkan bahwa yang termasuk mengusulkan fatwa adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia karena banyak anak di bawah umur yang merokok. Cholil juga menegaskan, MUI pusat juga akan membawa kekhawatiran dampak disetujuinya fatwa haram rokok. "Kalau soal sweeping bukan wilayah MUI. Tapi itu akan menjadi pertimbangan. Kalau untuk jawaban nanti dalam pertemuan di Padang Panjang," jelas Cholil. Di tempat yang sama Direksi PT Djarum Kudus, Suwarno M Serad mengatakan, keberadaan industri rokok kretek sudah banyak dikenal memiliki amplifikasi ke segala aspek kehidupan ekonomi dan sosial. Namun belakangan dianggap sebagai masalah karena mengganggu kesehatan. "Janganlah hidup yang pendek ini ditekan dengan menakut-nakuti atas dampak kesehatan, peraturan dan ancaman," ujarnya. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009