Bobotnya kira-kira sama dengan 23 juta truk bermuatan penuh 40 ton limbah makanan, yang dijajarkan bemper bertemu bemper maka akan cukup untuk mengelilingi tujuh kali bumi
Jakarta (ANTARA) - Laporan terbaru Program Lingkungan PBB (The United Nations Environment Programme/UNEP) menyebut  bahwa ada sebanyal 931 juta ton makanan berakhir menjadi limbah dan menyumbang delapan hingga 10 persen emisi gas rumah kaca (GRK) global.

Berdasarkan Laporan Indeks Limbah Makanan 2021 (the 2021 Food Waste Index Report) dari UNEP dan organisasi mitra  Waste & Resources Action Programme (WRAP) yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis (4/3) malam menyebutkan sekitar 931 juta ton atau 17 persen makanan pada 2019 yang tersedia bagi konsumen terbuang ke tempat sampah rumah tangga, pengecer, restoran, dan layanan makanan lainnya.

Bobotnya kira-kira sama dengan 23 juta truk bermuatan penuh 40 ton limbah makanan, yang dijajarkan bemper bertemu bemper maka akan cukup untuk mengelilingi tujuh kali bumi.

Limbah makanan memiliki dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang substansial. Misalnya, saat aksi iklim masih tertinggal, delapan persen sampai dengan 10 persen emisi gas rumah kaca global dikaitkan dengan makanan yang tidak dikonsumsi, dan itu belum memperhitungkan kerugian di tingkat konsumen.

“Mengurangi limbah makanan akan mengurangi emisi gas rumah kaca, memperlambat kerusakan alam melalui konversi lahan dan polusi, meningkatkan ketersediaan pangan dan dengan demikian mengurangi kelaparan dan menghemat uang pada saat resesi global,” kata Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen.

Menurut  dia jika ingin serius menangani perubahan iklim, hilangnya alam dan keanekaragaman hayati, serta polusi dan limbah, maka sektor bisnis, pemerintah, dan warga di seluruh dunia harus melakukan bagian mereka untuk mengurangi limbah makanan.

“KTT Sistem Pangan PBB tahun ini akan memberikan kesempatan untuk meluncurkan tindakan baru yang berani untuk mengatasi limbah makanan secara global,” katanya.

Dengan 690 juta orang terdampak kelaparan pada 2019, angka yang diperkirakan akan meningkat tajam dengan adanya pandemi COVID-19, dan tiga miliar orang tidak mampu membeli makanan sehat, konsumen membutuhkan bantuan untuk mengurangi limbah makanan di rumah.

Negara-negara dapat meningkatkan ambisi iklim dengan memasukkan limbah makanan dalam Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk Kesepakatan Paris, sekaligus memperkuat keamanan pangan dan memotong biaya rumah tangga.

Hal itu membuat pencegahan limbah makanan juga menjadi area utama untuk dimasukkan dalam strategi pemulihan COVID-19.

Masalah global

Pejabat Eksekutif Tertinggi (CEO) WRAP Marcus Gover mengatakan untuk waktu yang lama, diasumsikan bahwa sampah makanan di rumah merupakan masalah yang signifikan hanya di negara maju. Namun dengan diterbitkannya Laporan Indeks Limbah Makanan yang menggunakan tiga level metodologi tersebut mereka melihat bahwa segala sesuatunya tidak begitu jelas.

Grover mengatakan perkiraannya hanya sembilan tahun lagi, jika investasi signifikan penanganan limbah makanan rumah tangga secara global tidak dilakukan maka target Tujuan Pembuangan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SGDs) 12.3 yang bertujuan mengurangi separuh limbah makanan global per kapita di tingkat ritel dan konsumen, dan mengurangi kehilangan makanan di sepanjang rantai produksi dan pasok tidak akan tercapai.

“Ini harus menjadi prioritas bagi pemerintah, organisasi internasional, bisnis, dan yayasan filantropi,” katanya.

Laporan Indeks Limbah Makanan 2021 menyasar limbah makanan yang terjadi di gerai ritel, restoran, dan rumah, menghitung makanan dan bagian yang tidak dapat dimakan seperti tulang dan cangkang.

Data limbah makanan diambil dari 152 titik di 54 negara dan dianalisis dengan pemodelan data limbah makanan yang disebutkan paling komprehensif hingga saat ini, menawarkan metodologi bagi negara-negara untuk mengukur limbah makanan.

Laporan tersebut menyebut sebagian besar limbah makanan berasal dari rumah tangga, yang membuang 11 persen dari total makanan yang tersedia pada tahap konsumsi rantai pasokan. Sementara layanan makanan dan gerai ritel masing-masing memboroskan 5 persen dan 2 persen.

Pada tingkat per kapita global, 121 kilogram makanan tingkat konsumen terbuang setiap tahun, dengan 74 kilogram terjadi di level rumah tangga. Laporan UNEP dan WRAP tersebut juga mencakup perkiraan per kapita regional dan nasional.

Dalam laporan tersebut data limbah makanan rumah tangga yang diambil hanya di Surabaya untuk mewakili Indonesia, estimasi limbah makanannya mencapai 77 kilogram per kapita atau sekitar 20,94 juta ton per tahun. Sedangkan untuk rata-rata limbah makanan rumah tangga di tiga negara ASEAN (Indonesia, Vietnam dan Malaysia) diketahui mencapai 82 kilogaram per kapita per tahun.

Untuk “menjawab” laporan tersebut, UNEP akan meluncurkan kelompok kerja regional untuk membantu membangun kemampuan negara-negara untuk mengukur limbah makanan pada waktunya untuk putaran berikutnya dari pelaporan SDG 12.3 pada akhir 2022, dan mendukung mereka untuk mengembangkan garis dasar nasional untuk melacak kemajuan menuju tujuan tahun 2030 dan merancang strategi nasional untuk mencegah pemborosan makanan, demikian Marcus Gover ​​​​​​.


Baca juga: Pejabat PBB: Limbah makanan pembuang gas ketigas terbesar

Baca juga: RUU Pemborosan Makanan di China berlakukan denda Rp21 juta

Baca juga: Pejabat PBB: Limbah makanan pembuang gas ketigas terbesar

Baca juga: Pengamat: Pemerintah harus perdalam edukasi soal limbah makanan


Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021