Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan penuntutan kasus hukum pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, harus dilanjutkan.

"Kejaksaan harus melajutkan perkara penuntutan ini atas nama Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto," kata Juru Bicara PT DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, di Jakarta, Kamis malam.

Andi menjelaskan, hal itu adalah bagian dari putusan pada tingkat banding atas kasus penghentian penuntutan kasus yang menjerat Bibit dan Chandra.

Putusan itu ditetapkan oleh majelis hakim yang terdiri dari Muchtar Ritonga (ketua), I Putu Widnya, Nasarudin Tapo. Putusan itu ditetapkan pada Kamis (3/6).

Putusan itu diambil setelah kejaksaan mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap pra peradilan yang dimohonkan oleh Anggodo Widjojo, adik Anggoro Widjojo yang sudah berstatus tersangka di KPK.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya memutuskan, penghentian penuntutan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Bibit dan Chandra tidak sah. Oleh karena itu, kasus tersebut harus dilimpahkan ke pengadilan.

Andi Samsan menegaskan, Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut.

Menurut Andi, majelis hakim tinggi berpendapat, Anggodo memiliki kedudukan hukum sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dengan kasus Bibit dan Chandra.

Bahkan, pengadilan tinggi mempertegas putusan itu dengan menyatakan bahwa konstruksi kasus itu sudah tepat, yaitu Bibit dan Chandra diduga memeras seperti diatur dalam pasal 12 huruf e Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal itu selaras dengan fakta bahwa Anggodo didakwa mencoba memberikan sesuatu kepada pimpinan dan pejabat KPK.

"Konstruksi hukum jelas, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang mendorong kejaksaan untuk menghentikan kasus dengan alasan sosiologis," kata Andi mengutip putusan majelis hakim.

Majelis hakim tinggi berpendapat, seharusnya kejaksaan menggunakan kewenangan mengesampingkan perkara (deponering) jika menemukan alasan sosiologis dan politis yang membuat perkara itu tidak dapat dilanjutkan.

"Bukan menggunakan lembaga penghentian penuntutan," kata Andi Samsan menambahkan.

Bibit dan Chandra terjerat kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang. Sebelum dihentikan oleh kejaksaan, kasus itu sempat disidik oleh kepolisian.

Saat itu, kepolisian menduga Bibit dan Chandra serta sejumlah pejabat KPK menerima uang dari Anggoro Widjojo secara bertahap hingga mencapai Rp5,1 miliar.

Uang itu diserahkan melalui perantaraan Anggodo Widjojo dan seorang bernama Ari Muladi.

Awalnya, Ari Muladi mengaku menyerahkan uang itu kepada Bibit, Chandra, dan pejabat KPK yang lain. Namun, pada akhirnya, dia menyangkal hal itu dengan menyatakan uang itu diserahkan kepada seseorang yang bernama Yulianto yang mengaku mengenal pejabat KPK.

Hingga kini, keberadaan Yulianto tidak diketahui.
(T.F008/P003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2010