Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin dari Fraksi PDI Perjuangan menyatakan, melihat isi dan substansi Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen Negara, masih `debatable` (bisa diperdebatkan atau mengundang banyak perdebatan).

"Itu pandangan fraksi kami. Sebab, ada diktum yang mengatakan, aparat intelijen yang nota bene juga anggota Badan Intelijen Negara (BIN) itu bisa mengorganisasi bisa aparat intel lainnya, termasuk satuan-satuan teritorial maupun unit di jajaran paling bawah," ungkapnya kepada ANTARA, di Jakarta, Kamis malam.

Ia mengatakan itu, menjawab pertanyaan tentang masih banyak kekhawatiran publik tentang kemungkinan kembalinya penerapan model intelijen di era orde baru (Orba) yang berpotensi membungkam pembangunan demokratisasi.

Tubagus Hasanuddin lalu menunjuk salah satu masalah yang masih sangat mengundang perdebatan itu, yakni ketika diberlakukan aturan aparat inteleijen itu punya kewenangan menangkap seseorang.

"Maka ada dua hal yang langsung jadi sorotan publik. Pertama, ada pelanggaran di situ, yakni pelanggaran HAM. Karena apa, kan tidak mungkin seorang aparat intel menangkap buruannya secara terbuka.Kalau petugas intel menangkap terbuka, kan buka operasi intel namanya," ujarnya.

Masalah berikutnya dalam kaitan ini, lanjutnya, ialang, penangkan itu sendiri, berdasarkan KUHAP, harus memenuhi sejumlah unsur.

"Yakni, penangkan harus berlangsung (secara) terbuka, ada surat penangkapan, terus harus punya bukti awal , dan juga harus didampingi (pengacara atau penasihat hukum," tegasnya.

Tubagus Hasanuddin menilai, kalau ketiga butir aturan hukum beracara itu diterapkan, berarti ini bukan operasi intelijen.

"Saya bukan ahli hukum, tapi, bagaimana hal ini bisa diberlakukan dalam operasi intelijen yang menganut cara kerja tertutup serta sangat dadakan," tanyanya.

Ia berpendapa, jika tiga prasyarat itu diberlakukan oleh aparat intelijen (tanpa surat penangkapan, tanpa bukti awal, tanpa pendampingan), apalagi dilakukan diam-diam, mengurung seseprong, itu sama dengan penculikan.

"Kalau ini (penculikan), kan berarti sama dengan memutar lagi kembali ke era Orba. Ini yang kami khawatirkan, begitu juga mayoritas publik," ungkapnya.


Ada Solusinya

Namun, menurutnya, Fraksi PDI Perjuangan bukan tidak setuju dengan RUU Intelijen Negara ini dibahas lebih lanjut kemudian diundangkan.

"Yang kami tidak setuju, tentang hal-hal teknis beracara. Tetapi solusinya ada. Misalnya begini, menyangkut teroris, maka jika telah ditemukan atau ada bukti yang kuat (yakni bukti-bukti awal), ya sudah koordinasikan saja dengan Densus 88. Aparat dari institusi ini yang menyergap dan menangkapnya," katanya.

Kemudian, demikian Tubagus Hasanuddin, kalau ada kartel misalnya masalah narkoba yang bisa menghancurkan negara, juga segera koordinasikan dengan instansi mitra lainnya (dalam hal penangkapan).

"Misalnya, koordinasi `aja dengan BNN, sehingga biarlah Poliri yang mengurus Narkoba dan yang menangkap pelaku atau sindikatnya, sehingga BIN tidak perlu ada kewenangan-kewenangan penangkapan seperti itu. Ini berlaku juga untuk operasi penangkapan teroris, separatis dan anasir-anasir lain yang membahayakan keutuhan negara serta mengancam kemanusiaan," ujarnya

Dalam kaitan ini, menurutnya, Fraksi PDI Perjuangan mengingatkan aparat intelijen kita, agar jangan menangkap, dan segera lepas ego sektoral seperti dulu, tetapi menjalin kerjasama kuat dengan para mitra.

"Apalagi sekarang ini kan negara tidak dalam keadaan bahaya-bahaya amat. Sekarang sudah cukup bagus, dan karenanya demokrasi harus dikawal dengan baik," kata Tubagus Hasanuddin lagi. (M036/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2010