Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Hendarman Supanji masih merahasiakan kekhilafan atau kekeliruan sebagai dasar bagi alasan Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali atas penolakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan perkara Bibit-Chandra.

"Saya sudah melihat pertimbangan majelis hakim di keputusan banding dan melihat adanya kekhilafan, kekeliruan yang nyata. Tetapi tidak bisa saya elaborasi di sini. Itu" isi dapur" Kejaksaan Agung yang tidak untuk disampaikan," kata Hendarman dalam konferensi pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis.

Hendarman menyampaikan sikap resmi Kejaksaan Agung untuk mengajukan PK atas putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Mahkamah Agung yang menyatakan SKPP perkara Bibit-Chandra tidak sah setelah berkonsultasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hendarman menegaskan Presiden mempersilakan dan menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung untuk tetap mempertahankan SKPP yang dikeluarkan dalam perkara Bibit-Chandra.

Hendarman secara tegas menyatakan Kejaksaan Agung sampai saat ini tidak mempertimbangkan untuk mengeluarkan deponering atas perkara Bibit-Chandra.

Namun, ia tidak bersedia menanggapi apakah Kejaksaan Agung nantinya akan mengeluarkan deponering apabila PK nantinya kembali ditolak oleh MA.

Jaksa Agung menyatakan optimismenya bahwa PK yang akan diajukan oleh Kejaksaan Agung dapat diterima oleh MA meski pada tingkat pengadilan negeri dan banding SKPP tersebut dinyatakan tidak sah.

"Terhadap saran-saran dan pendapat yang berkembang dalam masyarakat agar kejaksaan melakukan deponering mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, Kejaksaan tidak akan melakukan haknya dengan pertimbangan sejak awal Kejaksaan sudah mengambil sikap untuk menghentikan perkara dengan opsi SKPP," tuturnya.

Apabila sekarang kejaksaan berubah sikap dengan menghentikan perkara melalui deponering, lanjut Hendarman, maka kejaksaan tidak mempunyai sikap atau ambivalen dalam penghentian perkara.

Selain itu, menurut dia, opsi SKPP atau deponering adalah dua opsi yang berbeda untuk menghentikan penuntutan.

Hendarman menjelaskan, Kejaksaan Agung tidak mengambil sikap deponering dalam perkara Bibit-Chandra karena kasus terkait dengan perkara itu, yaitu kasus Anggodo Widjojo, sedang disidangkan di Pengadilan khusus Tindak Piana Korupsi.

"Maka apabila perkara Bibit-Chandra dideponering sedangkan perkara Anggodo yang berkaitan dengan Bibit-Chandra tidak deponering, hal ini bertentangan dengan asas "equality before the law`"(semua sama di muka hukum red) ," tuturnya.

Selain itu, kata dia, untuk mengeluarkan deponering maka Kejaksaan Agung harus terlebih dahulu memperhatikan saran badan kekuasaan negara yang berkaitan dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Hendarman mengatakan badan legislatif telah memberikan saran dalam rapat Komisi III DPR dengan kejaksaan agar Kejaksaan Agung menangani perkara Bibit-Chandra secara profesional dan sesuai dengan hukum pembuktian.

"Saran ini belum dapat dipastikan sependapat dengan deponering," ujarnya.

Sedangkan badan yudikatif, lanjut Hendarman, sudah jelas menyatakan pendapatnya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutuskan SKPP perkara Bibit-Chandra tidak sah dan mewajibkan Kejaksaan untuk melanjutkan penuntutan perkara tersebut.

Karena memutuskan mengajukan PK, menurut Hendarman, maka kejaksaan memutuskan tidak membawa ke pengadilan perkara Bibit dan Chandra.

Namun, lanjut dia, Kejaksaan Agung masih berpendirian bahwa perkara Bibit-Chandra sebenarnya cukup bukti namun lebih baik dihentikan demi alasan sosiologis karena lebih banyak kerugiannya apabila penuntutannya dilanjutkan.

Dalam mempertahankan SKPP perkara Bibit-Chandra, lanjut Hendarman, Kejaksaan Agung tidak mengambil opsi kasasi karena menurut pasal 283 KUHAP putusan praperadilan yang menetapkan SKPP tidak sah berhenti pada putusan Pengadilan Tinggi.

Selain itu, MA pun telah mengeluarkan surat edaran No 7 Tahun 2005 sesuai dengan pasal 45a UU No 5 Tahun 2004 tentang MA bahwa perkara yang tidak dapat diajukan kasasi antara lain putusan praperadilan. (*)

D013*P008/A011

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010