Para tokoh dan pelaku teror ternyata kebanyakan orang-orang Jawa, lalu apa yang membuat itu bisa terjadi dan mengapa bisa demikian?

Prof Dr Bambang Pranowo dalam buku terbarunya "Orang Jawa Jadi Teroris" menjawab dengan gamblang pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa orang Jawa itu mempunyai sifat "3 nga", yaitu ngalah, ngalih dan ngamuk.

"Orang Jawa Jadi Teroris" sebenarnya ditulis pada 2007 di salah satu media Ibukota tetapi kemudian menjadi judul buku bunga rampai yang diterbitkan PT Anggaraksa Jaya Jakarta (2010) dengan pengantar Juwono Sudarsono dan prolog Fachry Ali.

Bambang sebelumnya pernah menulis buku "Memahami Islam Jawa" terbitan 2009, terjemahan dari disertasinya "Creating Islamic Tradition in Rural Java" untuk meraih gelar Ph.D di Universitas Monash, Australia, pada 1991.

Tulisan tentang terosis Jawa itu sebenarnya jawaban untuk pertanyaan dari Prof. Dr Azyumardi Azra, yang dalam satu diskusi menanyaka mengapa belakangan ini teroris banyak dari daerah Jawa, bukan daerah-daerah yang penduduknya bertemperamen keras seperti Sumatra dan Sulawesi.

Dari fakta yang ada, teroris yang tertangkap polisi sejak tragedi bom Bali I dan II, bom Poso, bom Kuningan, sampai bom Mariot, ternyata asalnya dari Jawa, di antaranya Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi, dan Imam Samudera.

Bambang Pranowo, kelahiran Magelang 1947 dan kini menjabat Ketua Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Departemen Pertahanan RI, serta pengajar di berbagai perguruan tinggi, mengawali jawabannya dengan memaparkan sifat orang Jawa di masa lalu.

Secara singkat ia membandingkan sifat Bung Karno (Jawa) yang menggelegar dan Bung Hatta (Sumatra) yang lembut halus, kemudian Amien Rais dan Sri Bintang Pamungkas, orang Jawa yang berani dan tidak takut apa pun.

Bahkan di masa lalu, Diponegoro dan Kasman Singodimedjo amat berbeda dari orang Jawa umumnya.

Bambang membandingkan karakter para tokoh berdarah Jawa itu dengan karakter dalam wayang Pandawa Lima (Arjuna, Puntodewo, Werkudoro, Nakula dan Sadewa), sebagai simbol para pemberani, mengatur strategi perang dan diplomasi, serta tidak kenal kompromi.

"Orang Jawa umumnya lembut, akomodatif dan mudah bersahabat dengan siapa pun, tetapi orang non Jawa perlu hati-hati menyikapi dan memandang orang Jawa. Jangan sekali-kali meremehkan atau mengecewakan. Kenapa? Karena orang Jawa punya filosofi tiga nga, ngalah, ngalih dan ngamuk," kata Bambang, (hal.18).

Orang Jawa, katanya, suka ngalah untuk tujuan jangka panjang yang menguntungkan, ini sisi lain dari sifat Puntodewo.

Tapi jika lawan masih keras, orang Jawa akan "ngalih" alias meminggirkan diri demi mencari strategi agar menang. Ini karakter Arjuna.

"Tapi jika terus didesak dan diinjak terus menerus, orang Jawa akan ngamuk. Ini adalah karakter lain dari Werkudoro," kata staf peneliti LP3S yang pernah menjadi rohaniawan di Tapol Pulau Buru dan salah satu petinggi di Depag itu.

Ngamuk pada AS


Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dan teman-temannya adalah alumni Afghanistan.

Di samping sebagai Jawa muslim, mereka mengalami gemblengan fisik, psikis dan ideologis untuk perang melawan orang kafir.

Bagi mereka, penjajah Rusia di Afghanistan adalah kafir yang harus diperangi. Setelah Rusia lenyap datanglah penjajah Amerika, yang amat kuat dan punya "outlet bisnis dan ideologi" di mana-mana termasuk Indonesia.

Hotel JS Marriott adalah "outlet ekonomi" AS di Jakarta, sementara cafe dan diskotik di Bali adalah "outlet" budaya AS. Keduanya harus dihancurkan, kata mereka.

Amrozi dkk meledakkan bom di Hotel Marriott Jakarta dan cafe di Kuta Bali, karena mereka yakin tengah menghancurkan kekuatan Amerika.

Mengapa ngamuk?


Bambang menulis, mereka sudah amat tertekan, terdesak dan tertindas oleh Amerika.

Sebagai orang Jawa, mereka sudah tidak punya pilihan ngalah dan ngalih terhadap AS, sehingga mereka harus "ngamuk" atau perang terhadap AS sampai titik darah penghabisan.

"Itulah sebabnya pengebom bunuh diri (suicide bombing) seperti terlihat dalam CD mereka, dijuluki Noordin M Top sebagai syuhada atau pahlawan," kata Bambang, yang juga mengajar Isu-isu kontemporer keagamaan di Universitas Islam Jakarta.

Tetapi Bambang, dalam buku yang disunting Syaefudin Simon itu, amat menyayangkan pandangan ideologi para teroris yang dinilainya amat dangkal, radikal dan sempit.

"Indonesia bukanlah tempat pertempuran melawan AS. Mereka tidak peduli, Indonesia bukan `daarul harb` atau negeri yang sedang berperang melawan AS. Perbuatan mereka sudah menewaskan ratusan orang tidak bersalah yang mayoritas beragama Islam," kata Bambang.

"Islam adalah esensi dan kata sifat. Ini artinya, banyak akhlak orang dan bangsa lain, termasuk Amerika, yang lebih islami ketimbang akhlak orang Afghanistan dan orang yang mengaku dirinya Islam," kata Bambang.

Dia mengimbau orang-orang seperti Abu Irsyad untuk berintrospeksi, karena Nabi Muhammad pun dahulu kala menata kehidupan umat yang plural.

Buku setebal 221 halaman ini ditiris dalam lima bab. Pada Bab I ada tujuh artikel yang mengulas teroris dengan judul Mengenal Motivasi Teroris, Terorisme Sambut Obama, Orang Jawa Jadi Teroris, Terorisme Syunni dan Syiah: Debat Kecil di Kampung Santi, Misuari, Boim dan Noordin, Bush, Terorisme dan Crusade serta Potret Buram Politik Islam.

Buku ini enak dibaca, sampai-sampai Prof Juwono Sudarsono dalam pengantarnya dengan gamblang mengatakan, "Dalam buku ini Prof Bambang berhasil menyorot keterkaitan antara terorisme, agama dan budaya, khususnya di Indonesia."

Sementara Fachry Ali menilai buku ini sebagai usaha "membersihkan" wajah Islam dari "noda" terorisme, bahwa Islam adalah agama damai dan bahwa seluruh sumber gagasan terorisme berada di luar struktur ajaran Islam. (*)

A008/H-KWR/AR09

Oleh A.R. Loebis
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010