Jakarta (ANTARA News) - Usul dana aspirasi Rp15 Miliar per wakil rakyat yang dilontarkan Partai Golongan Karya tidak hanya diperhatikan masyarakat Tanah Air, tapi juga diplomat asing, terutama yang membidangi politik dengan tugas memantau semua kegiatan politik.

"Seharusnya Golkar memikirkan dahulu bagus tidaknya ide ini. Kemudian baru melakukan sosialisasi agar mendapat dukungan," kata seorang diplomat di Jakarta, Selasa (15/6).

Diplomat yang sudah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun terakhir ini memperkirakan, wacana ini akan "lenyap di telan bumi" setelah ditentang banyak kalangan, dari lawan-lawan politik Golkar sampai LSM dan tokoh masyarakat.

Namun seperti banyak orang di Tanah Air, sang diplomat terkecoh.

Selasa itu juga, wacana dana aspirasi itu dibahas lagi di DPR terutama di Badan Anggaran dan secara mengejutkan memutuskan wacana itu sebagai usulan resmi organ DPR itu sehingga layak lapor ke Rapat Paripurna DPR.

"Kami yakin pemerintah akan amat arif untuk mempertimbangkan usul ini," kata Ketua Badan Anggaran Harry Azhar Aziz pada rapat yang juga dihadiri Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Darmin Nasution yang calon tunggal Gubernur Bank Indonesia itu.

Jika sebelum ini namanya "dana aspirasi", maka kini nama "gagahnya" menjadi "program percepatan dan pemerataan pembangunan daerah melalui kebijakan pembangunan kewilayahan yang berbasis pada daerah pemilihan".

Pada awalnya, dana aspirasi adalah "pemberian" uang Rp15 miliar kepada setiap anggota DPR untuk "membangun" daerah pemilihannya.

Jika usulan ini disetujui semua anggota DPR, maka pemerintah harus mengalokasikan tidak kurang Rp8,3 triliun per tahun untuk para wakil yang terhormat itu.

Ironisnya, untuk membangun semua wilayah di Indonesia itu, pemerintah sendiri sudah menyediakan banyak program dengan dana yang juga tidak sedikit.

Ketika mengomentari penyataan Harry Azhar Aziz, dengan nada tenang, Agus Martowardojo menegaskan tak ada pembahasan dana aspirasi sebesar Rp15 miliar dalam Panitia Kerja Badan Anggaran DPR.

"(Soal) dana aspirasi, kami tidak menyatakan sikap dan sebelum panitia kerja itu ada diskusi. Tapi dalam pembahasan internal panitia kerja tidak dibahas," kata Agus yang sementara ini merangkap jabatan Direktur Utama Bank Mandiri.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Pramono Anung memastikan bahwa masalah itu tidak akan dibahas lagi di DPR karena rawan masalah dan menimbulkan kontroversi.

"Tentunya yang akan menimbulkan pertanyaan adalah pertama, dari mana datangnya angka Rp15 miliar. Yang kedua, bagaimana pola penyaluran dalam konteks ini," kata mantan sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Sikap kontra juga datang dari partai politik lainnya, misalnya Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali yang mengatakan ide itu lebih banyak mudarat atau kejelekannya, daripada manfaatnya.

"Daripada menjadi perdebatan, lebih baik jangan diteruskan," kata Suryadhrama yang juga Menteri Agama itu.

Pramono menimpali dengan sesumbar, "Saya meyakini bahwa dana ini tidak mungkin akan digolkan!"

Bantu rakyat atau persiapan 2014?

Meski dalih Golkar "demi rakyat, ide "bagi-bagi uang" Rp15 miliar itu dianggap lain oleh banyak kalangan, bahkan Sekretaris Jenderal DPP Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta mengkritik pedas proposal Golkar itu.

"Ada apa dibalik usul dana aspirasi ini?" kata Wakil Ketua DPR ini.

Tidak hanya curiga, Anis bahkan menyebut wacana itu bisa merusak harmonisasi koalisi pendukung pemerintah karena tidak ada satu pun parpol yang bisa memaksakan kehendaknya kepada koalisi.

Suara tidak kalah keras dilontarkan tokoh-tokoh LSM, antara lain dari Lingkar Madani Indonesia.

"Adalah tidak masuk akal apabila DPR yang berfungsi mengawasi dan menerima laporan yang dikerjakan, kemudian sekaligus mengawasi dan menerima lapioran program yan dikendalikan anggota Dewan itu sendiri," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti.

Golkar sendiri, seperti dinyatakan Ketua DPP Partai Golkar Hadjrianto Tohari, berkilah bahwa dana tersebut bisa merekatkan hubungan antara anggota DPR dengan konstituennya.

Bahkan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, "Jika daerah memerlukan pembangunan jalan, jembatan atau fasilitas umum lainnya bisa menggunakan dana aspirasi ini."

Sekretaris Fraksi Golkar di DPR Ade Komarudin memperkuat klaim Aburizal dengan mengatakan di era reformasi ini upaya penguatan daerah harus didukung semua pihak.

Tetapi, semakin keras Golkar membela diri, semakin tebal kecurigaan publik. Sejumlah kalangan bahkan mencurigai wacana itu ada hubungannya dengan "event politik" tahun 2014 di mana pemilihan umum, pemilihan presiden, dan wakil presiden akan dilangsungkan.

Walaupun itu masih empat tahun lagi, orang-orang ingin tetap menjadi anggota DPR dan DPRD tentu harus bersiap diri sejak sekarang, termasuk menyediakan dana untuk biaya kampanye.

Pengalaman Pemilu 2009 menunjukkan, tidak sedikit calon anggota DPR harus pontang-panting mencari uang demi pembiayaan politiknya, sampai-sampai banyak yang meminjam uang ke pihak ketiga sehingga terjerat utang miliaran rupiah, lalu stres dan masuk rumah sakit jiwa.

Wacana dana aspirasi dengan berapa pun nilainya, membuat publik curiga bahwa anggota DPR yang ingin tampil lagi di DPR atau DPRD 2014-2019 bisa "mencuri" sedikit dari dana asiprasi ini untuk mengurangi beban keuangan mereka.

Seperti dilontarkan diplomat asing di Jakarta itu, tokoh-tokoh Golkar agaknya harus menjawab secara jujur, terus terang dan terbuka apakah kecurigaan atau apriori publik itu benar atau tidak.

Jika masyarakat tidak memperoleh jawaban meyakinkan bahwa dana itu tidak ada kaitannya dengan Pemilu 2014, maka masyarakat bisa saja kian muak dan membenci partai politik.(*)

A011/T010/AR09

Oleh Arnaz Ferial Firman
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010