Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengusulkan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sekitar 3 hingga 5 persen per tahun.

Dengan bunga rendah APERSI mengharapkan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tetap mampu membeli rumah, termasuk ketika harga rumah sederhana sehat (RSS) bersubsidi menjadi sekitar Rp94 juta per unit.

"Solusinya dan usul kami, pemerintah harus bisa menyediakan Kredit Pemilikan Rumah dengan suku bunga bank yang rendah, yaitu dari tiga hingga lima persen dan jangka waktu KPR lebih lama misalnya dari maksimal 15 menjadi 25 tahun," kata Sekjen APERSI, Anton R Santoso, saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Penegasan tersebut disampaikan terkait dengan pernyataan Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera, Tito Murbaintoro, bahwa pihaknya akan mengusulkan menaikan harga RSS bersubsidi untuk penduduk berpenghasilan dibawah Rp2,5 juta per bulan, dari Rp55 juta menjadi Rp94 juta.

Namun, ketentuan itu masih menunggu pembahasan final dengan Kementerian Keuangan terkait harga patokan maksimum rumah subsidi itu.

Anton menjelaskan, jika kenaikan harga tersebut pasti bakal berdampak pada menurunnya minat masyarakat dalam membeli rumah, terutama MBR.

Meksi begitu, dirinya tidak bisa memungkiri harga material bahan bangunan yang terus naik bakal berdampak pada kenaikan harga bangunan. Apalagi, menurutnya, biaya perizinan pembangunan yang masih mahal menjadi beban pengembang dalam menjalani bisnisnya.

"Kenaikan harga RSS kami sambut positif, namun pertanyaannya apakah MBR mampu membeli rumah dengan harga tersebut?," tegasnya.

Karena itu, tegasnya, tidak ada opsi lain agar MBR mampu maka pemerintah harus memberikan subsidi uang muka untuk meringankan mereka, lebih baik lagi jika mereka tidak dikenakan uang muka sama sekali.

Sebelumnya, Tito juga menegaskan, finalisasi harga patokan maksimum rumah bersubsidi harus memperhitungkan potongan pajak bagi konsumen berpenghasilan menengah ke bawah.

Menurut Tito, patokan angka tersebut diperoleh dari hasil simulasi Kemenpera menjelang diterapkannya kebijakan fasilitas likuiditas sebagai pengganti subsidi selisih bunga KPR yang rencananya mulai berlaku 1 Juli nanti.

Lebih lanjut, dirinya menambahkan, perubahan harga patokan RSS tersebut juga akan diikuti dengan harga patokan rumah susun sederhana milik (rusunami).

Sampai saat ini harga satuan rusunami maksimum sebesar Rp144 juta per unit. Pengembang dalam tuntutannya menginginkan agar harga patokan rusunami dinaikkan menjadi Rp180 juta per unit.

Dari hasil simulasi terhadap penerapan fasilitas likuiditas, diperoleh masyarakat berpenghasilan maksimum Rp4,5 juta bisa membeli rusun bersubsidi sebesar Rp190,4 juta per unit.

Fasilitas likuiditas perumahan sendiri dirumuskan sejak awal tahun 2010 berupa subsidi bunga KPR dengan bunga kredit maksimum untuk RSS sebesar delapan persen per tahun dan suku bunga untuk rusunami sebesar sembilan persen per tahun selama tenor pinjaman.

Skim tersebut menggantikan pola subsidi lama yang berlaku sampai saat ini yakni subsidi untuk uang muka sebesar Rp5 juta hingga Rp7 juta per unit dan subsidi selisih bunga KPR sebesar tujuh persen hingga sembilan persen per tahun untuk jangka waktu empat hingga delapan tahun.

Untuk skim baru (fasilitas likuiditas) itu pemerintah telah menyisihkan anggaran subsidi perumahan dari APBN-P 2010 sebesar Rp416 miliar untuk pembayaran subsidi tahun 2008-2009 serta masa transisi pola subsidi lama ke pola fasilitas likuiditas.

Total anggaran subsidi perumahan sebesar Rp3,1 triliun dan dari jumlah itu sebesar Rp2,683 triliun di antaranya untuk fasilitas likuiditas.

(T.E008/M012/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2010