Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Rofikoh Rokhim menilai pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang diamanatkan UU No.6 tentang Bank Indonesia rawan bisa mengakibatkan ekonomi Indonesia tertular krisis ekonomi yang saat ini melanda beberapa negara.

"Hal yang perlu dikhawatirkan dari proses penyatuan lembaga pengawas adalah kejutan eksternal. Pada saat lembaga belum mapan dan terjadi kejutan eksternal, sektor keuangan akan mendapatkan dampak yang buruk," kata Rofikoh dalam diskusi ISEI di Jakarta, Sabtu.

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan itu harus selesai sebelum 31 Desember 2010.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia itu mencontohkan krisis keuangan yang terjadi di Yunani saat ini bisa saja berdampak buruk pada ekonomi Indonesia dan sulit diatasi jika saat yang bersamaan sedang dilakukan proses transisi pengawasan lembaga keuangan nonbank dan perbankan ke dalam OJK.

"Berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang membentuk lembaga semacam OJK, mereka butuh dua sampai empat tahun. Sementara proses transaksi keuangan sekarang hitungannya sudah detik, sehingga kalau terjadi krisis siapa yang akan mengatasinya," kata Rofikoh.

Selain itu, lanjutnya dari RUU OJK yang telah diajukan Pemerintah ke DPR, terlihat adanya potensi miskoordinasi dalam mekanisme operasional organisasi OJK dan akan memunculkan biaya besar.

Dalam RUU OJK itu, lanjutnya setiap lini pengawas menjalankan fungsi pengawasan mikro dan laku bisnis secara bersamaan, yang justru terbukti gagal dilakukan oleh Finansial Service Authority (FSA) Inggris karena suatu lini akan cenderung mengabaikan fungsi lainnya.

Biaya koordinasi juga akan tinggi, apabila fungsi pengawasan makro dan mikro sektor perbankan yang selama ini dilakukan oleh BI dipisahkan.

Karena itu, Rofikoh menyebutkan struktur pengawasan di Perancis yang membentuk lembaga independen sebagai pengawas perbankan yang masih di bawah kendali bank sentral bisa menjadi acuan bagus saat membentuk OJK.

Menurut pakar tersebut , BI bisa membentuk lembaga pengawas perbankan yang akan dibentuk dengan undang-undang dan berada di bawah koordinasi dan tanggung jawab BI.

"Dengan adanya lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah bank sentral, hal ini akan meminimalisasikan risiko yang terjadi selama masa transisi terutama risiko hilangnya kontinuitas pengawasan perbankan," katanya.

Sementara itu, pengamat ekonomi Aviliani juga mengusulkan agar pengawasan lembaga keuangan nonbank masuk dalam pengawasan Bank Indonesia sehingga data transaksi semua lembaga keuangan bank dan nonbank terintegrasi dan memudahkan fungsi koordinasi.

"Kalau pengawasan lembaga keuangan nonbank masuk BI, kita juga bisa menghemat biaya, selain data yang semakin terintegrasi sehingga memudahkan pengawasan," katanya.

Dikatakannya, jika pembentukan OJK justru lebih banyak menimbulkan kesulitan atau berpotensi merugikan ekonomi Indonesia, maka sudah sebaiknya dipikirkan jalan untuk mengamandemen UU BI yang mengamanatkan pembentukan lembaga itu.(*)
(D012/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2010